Menjelang pemilihan Presiden,
masyarakat mendapatkan tawaran gagasan oleh para Capres untuk membenahi bangsa
dan negara. Salah satunya adalah gagasan ‘Revolusi Mental’ yang diprakarsai
oleh Capres Jokowo Widodo.
Melihat fenomena yang ada, masih
banyak masyarakat yang memahami ‘Revolusi Mental’ dengan suatu asumsi apa yang dilihat dan didengar. Dengan kata lain hanya
menurut apa yang disukai, atau menafsirkan sesuai kepentingannya. Cara berfikir
seperti inilah yang cenderung mengabaikan substansi ‘Revolusi Mental’. Maka
memberi suatu makna substansial menjadi hal yang mutlak diketahui masyarakat
umum.
Istilah ‘Revolusi Mental’ banyak
dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik, dan sejarah musik.
Penggunaan itu terjadi baik di dunia barat maupun timur, baik oleh pemikir
Islam, Kristiani, Hinduisme, maupun Buddhisme. Bahkan Bung Karno pernah
menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956, yang dikenal dengan
Trisakti Bung Karno.
‘Revolusi mental’ merujuk pada
konsep Revolusi, yaitu suatu perubahan drastis yang bersifat progres. Lawan
katanya (Antonim) adalah Evolusi, yaitu perubahan yang bersifat lambat. Sedangkan
dalam KBBI, Revolusi adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Sedangkan Evolusi yaitu, perubahan secara
berangsur-angsur dan perlahan-lahan.
Adapun istilah ‘Mental’ adalah nama
bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup, Misalnya, ‘Mentalitas
Zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berfikir, cara memandang masalah, cara
merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku atau bertindak.
Memahami Mental
Daya-daya mental seperti bernalar,
berfikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi
(tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa
pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mentalpun dibentuk dan
menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Karena itulah terdapat ungkapan
Mentalitas Zaman, Mentalitas Petani, Mentalitas Industrial, Mentalitas Priyai,
Mentalitas komunikasi, dan sebagainya.
Kekeliruan memahami pengertian
mental, membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang
tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal struktur ekonomi,
politik dan sebagainya. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang
mengarahkan orang pada putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah
daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari
perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan perilaku.
Kekeliruan itu menyangkut apakah yang salah adalah stukrur sosial atau mental
pelaku. Inilah pertentangan yang mengakibatkan interaksi keduanya terasa putus.
Hubungan
integral antara “Mental Pelaku” dan “Struktur Sosial” terjembatani dengan
memahami kebudayaan ‘Culture’ sebagai cara berfikir, cara merasa, dan cara
bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari. Dalam dunia nyata
tidak ada pemisahan antara ‘Struktur Sosial’ sebagai kondisi
material/fisik/sosial dan ‘Kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling
terkait secara integral.
Corak
praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan
ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berfikir, merasa dan bertindak
(budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik ekonomi serta
politik. tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada
kebudayaan tanpa politik. Pemisahan itu hanya ada pada arus analitik. Politik
dan ekonomi selalu terlibat budaya, dan budaya selalu terlibat ekonomi dan
politik.
Selain
sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga mempunyai makna yang berisi
cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara
mengevaluasinya. Kebudayaan juga mempunyai fisik/material karya cipta manusia
termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktik sehari-hari
ketiganya tidak terpisah secara tajam.
Contohnya
adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita
peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir
dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi
kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena
perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami
hubungan antara ‘struktur sosial’ dengan ‘Mental Pelaku’ sangatlah besar.
Kekeliruan tersebut akan melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan
mental akan menimbulkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara
moral bangsa.
Politisasi Bahasa
Alwasilah
(1994) mengatakan bahwa Politisasi bahasa adalah rekayasa menggunakan bahasa,
memberlakukan aturan bahasa, dan memaksa pemaknaan bahasa. Bahasa dengan
demikian “dibermaknakan” sesuai dengan konteks politik penguasa. Pertanyaannya
adalah apakah gagasan ‘Revolusi Mental’ hanya suatu gagasan abstrak demi
kepentingan politik kekuasaan?.
Roland
Barthes (1915-1980) memberi gagasan “Order Of Signification”. Memahami
teks harus dengan menekankan interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dalam hal ini ‘Revolusi
Mental’ dianggap menjadi gagasan yang diproduksi oleh pengalaman yang terjadi
pada kondisi saat ini.
Hooker (dalam latif dan Ibrahim, ed.
1996:72) melakukan penelitian terhadap teks-teks pidato Hari Kemerdekaan di
masa Orde Lama dan Orde Baru, dengan menggunakan teori Halliday (1995). Teori
ini berupa kerangka kerja untuk memungkinkan kita mengetahui interaksi teks
dengan konteks, yang meliputi tiga bagian konsep : wilayah wacana (field of
discourse), penyampaian wacana (tenor of discourse), dan mode wacana
(mode of discorse).
Pada
masa Orde Baru, terjadi satu sikap monoloyalitas dalam berbahasa sebagai cermin
“keserbatunggalan” pemahaman terhadap realitas. Sikap akomodasi yang
disampaikan para cendekia juga tercermin dari bahasa dan slogan yang
dipakainya. Misal, slogan “Islam Yes, Politik Islam No” yang banyak
disebut oleh Nurcholish Madjid.
Bahasa politik digunakan dalam
kampanye-kampanye partai politik atau pidato-pidato para birokrat. Misalkan,
sebelum B.J. Habibie menjadi Menristek di era Orde Baru, kata-kata Iptek
atau Imtak kurang populer di masyarakat. Kedua kata itu menjadi sangat
akrab ketika secara terus menerus disosialisasikan dan diprogramkan melalui
berbagai rekayasa.
BJ Habibie juga melakukan propaganda
moral altruisme, misalnya ketika B.J. Habibie memutuskan memutuskan
memberikan opsi II tentang memorandum bagi rakyat Timor Timur. Demokrasi
ditempatkan sebagai tema sentral dalam setiap pidato BJ.Habibie.
Abdurahman Wahid (Gus Dur), telah
menggunakan language politic untuk kepentingan propaganda. Gus Dur
sering melontarkan masalah-masalah yang penuh interpretasi sehingga muncul
wacana-wacana dan ketika wacana itu sudah klimaks, gus dur hanya mengucap “Gitu
aja kok repot”. Suatu ungkapan yang tidak jelas maksudnya, hanya Gus Dur yang
faham maknanya. Gus dur juga melakukan propaganda “Fikih Politik” dengan
mengganti assalamu’alaikum dengan selamat pagi. Demikian juga ketika Gus Dur
melontarkan ide negara tanpa negara, pencabutan tap MPRS No. XXV/MPRS/1966
tentang pelarangan komunis.
Sebagai jawabannya, suatu gagasan
‘Revolusi Mental’ adalah hal yang lumrah digunakan dalam berkampanye ataupun
gagasan untuk suatu transformasi. Bahasa ini (Revolusi Mental) menjadi suatu
realitas keadaan kondisi sosial yang terjadi saat ini. Relevansi penggunaan
‘Revolusi Mental’ sebagai upaya memperbaiki bangsa dan negara sangatlah sesuai
karna bukan hanya konteks, tetapi pengalaman mental kita yang lemah merupakan
cikal bakal gagasan “Revolusi Mental’. Sebagaimana BJ.Habibie, Nurcholis Madjid
dan Gus Dur juga mempropagandakan bahasa yang merupakan propaganda realitas
kondisi realita yang terjadi.
Esensi Revolusi Mental
Pada substansinya, makna yang
terkandung dalam gagasan ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu
perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berfikir, cara merasa, dan cara
mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Etos ini menyangkut semua aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sains
tekhnologi, seni, agama, dan sebagainya. Pada selanjutnya akan menjadikan
mentalitas bangsa lambat laun akan berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan
dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
‘Revolusi Mental’ mesti dipahami
bukan sekedar seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau
celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagi corak cara berfikir, cara
merasa, dan cara bertindak yang teraplikasi dalam kebiasaan dan tindakan
sehari-hari. Proses pembelajaran demikian akan melahirkan perubahan (Transformasi)
, yakni perubahan dari cara berfikir lama (Linier Thinking) ke cara
berfikir baru (Syistem Thinking). Hanya dengan inilah ‘Revolusi Mental’
akan menjadi wahana melahirkan Indonesia Baru.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu
adanya kebijakan. Memulai dengan membangun perubahan dan menyusun inisiatif
yang berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari. inisiatif itu
melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-langkah konkret untuk mengubah
kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup
berbangsa dan bernegara.
‘Revolusi
mental’ bukanlah urusan sandiwara sistem sosial maupun mental pelaku. ‘revolusi mental’ juga tidak akan terjadi
hanya dengan khotbah tentang kesadaran moral, serta juga tidak dengan seminar
dan pertunjukan.Transformasi sejati hanyalah akan terjadi dalam kesetiaan
bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui
kerutinan ‘Revolusi Mental’ akan terjadi.
Jika
‘Revolusi Mental’ ini teraplikasi oleh semua lapisan elemen masyarakat, maka
akan sejalan dengan Civil Society, yaitu gerakan para warga negara (Citizens)
untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup
bersama yang bernama Indonesia.
Gagasan Revolusi mental ini jangan
hanya di artikan dengan maksud dan skema perubahan yang di gagas oleh Jokowi,
tetapi harus dikonstruksikan secara sosial kepada pihak berwenang dalam hal ini
pemerintah. Jika tidak maka hanya akan menjadi sebuah gagasan yang abstrak dan
sampai ujung waktu berkuasa akan nihil. Maka Konsepnya akan dirobohkan sendiri
oleh kata ‘Revolusi’.
0 comments:
Post a Comment