Loading...
Monday, October 6, 2014

Tafsir ‘Revolusi Mental’


Tafsir ‘Revolusi Mental’

Menjelang pemilihan Presiden, masyarakat mendapatkan tawaran gagasan oleh para Capres untuk membenahi bangsa dan negara. Salah satunya adalah gagasan ‘Revolusi Mental’ yang diprakarsai oleh Capres Jokowo Widodo.
Melihat fenomena yang ada, masih banyak masyarakat yang memahami ‘Revolusi Mental’ dengan suatu asumsi apa yang  dilihat dan didengar. Dengan kata lain hanya menurut apa yang disukai, atau menafsirkan sesuai kepentingannya. Cara berfikir seperti inilah yang cenderung mengabaikan substansi ‘Revolusi Mental’. Maka memberi suatu makna substansial menjadi hal yang mutlak diketahui masyarakat umum.
Istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik, dan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia barat maupun timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme, maupun Buddhisme. Bahkan Bung Karno pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956, yang dikenal dengan Trisakti Bung Karno.
‘Revolusi mental’ merujuk pada konsep Revolusi, yaitu suatu perubahan drastis yang bersifat progres. Lawan katanya (Antonim) adalah Evolusi, yaitu perubahan yang bersifat lambat. Sedangkan dalam KBBI, Revolusi adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang.  Sedangkan Evolusi yaitu, perubahan secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan.
Adapun istilah ‘Mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup, Misalnya, ‘Mentalitas Zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berfikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku atau bertindak.
Memahami Mental
Daya-daya mental seperti bernalar, berfikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mentalpun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Karena itulah terdapat ungkapan Mentalitas Zaman, Mentalitas Petani, Mentalitas Industrial, Mentalitas Priyai, Mentalitas komunikasi, dan sebagainya.
Kekeliruan memahami pengertian mental, membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal struktur ekonomi, politik dan sebagainya. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang pada putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan perilaku. Kekeliruan itu menyangkut apakah yang salah adalah stukrur sosial atau mental pelaku. Inilah pertentangan yang mengakibatkan interaksi keduanya terasa putus.
            Hubungan integral antara “Mental Pelaku” dan “Struktur Sosial” terjembatani dengan memahami kebudayaan ‘Culture’ sebagai cara berfikir, cara merasa, dan cara bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari. Dalam dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘Struktur Sosial’ sebagai kondisi material/fisik/sosial dan ‘Kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral.
            Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berfikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik ekonomi serta politik. tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa politik. Pemisahan itu hanya ada pada arus analitik. Politik dan ekonomi selalu terlibat budaya, dan budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
            Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga mempunyai makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga mempunyai fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktik sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
            Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami hubungan antara ‘struktur sosial’ dengan ‘Mental Pelaku’ sangatlah besar. Kekeliruan tersebut akan melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menimbulkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa.
Politisasi Bahasa
            Alwasilah (1994) mengatakan bahwa Politisasi bahasa adalah rekayasa menggunakan bahasa, memberlakukan aturan bahasa, dan memaksa pemaknaan bahasa. Bahasa dengan demikian “dibermaknakan” sesuai dengan konteks politik penguasa. Pertanyaannya adalah apakah gagasan ‘Revolusi Mental’ hanya suatu gagasan abstrak demi kepentingan politik kekuasaan?.
            Roland Barthes (1915-1980) memberi gagasan “Order Of Signification”. Memahami teks harus dengan menekankan interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dalam hal ini ‘Revolusi Mental’ dianggap menjadi gagasan yang diproduksi oleh pengalaman yang terjadi pada kondisi saat ini.
Hooker (dalam latif dan Ibrahim, ed. 1996:72) melakukan penelitian terhadap teks-teks pidato Hari Kemerdekaan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dengan menggunakan teori Halliday (1995). Teori ini berupa kerangka kerja untuk memungkinkan kita mengetahui interaksi teks dengan konteks, yang meliputi tiga bagian konsep : wilayah wacana (field of discourse), penyampaian wacana (tenor of discourse), dan mode wacana (mode of discorse).
            Pada masa Orde Baru, terjadi satu sikap monoloyalitas dalam berbahasa sebagai cermin “keserbatunggalan” pemahaman terhadap realitas. Sikap akomodasi yang disampaikan para cendekia juga tercermin dari bahasa dan slogan yang dipakainya. Misal, slogan “Islam Yes, Politik Islam No” yang banyak disebut oleh Nurcholish Madjid.
Bahasa politik digunakan dalam kampanye-kampanye partai politik atau pidato-pidato para birokrat. Misalkan, sebelum B.J. Habibie menjadi Menristek di era Orde Baru, kata-kata Iptek atau Imtak kurang populer di masyarakat. Kedua kata itu menjadi sangat akrab ketika secara terus menerus disosialisasikan dan diprogramkan melalui berbagai rekayasa.
BJ Habibie juga melakukan propaganda moral altruisme, misalnya ketika B.J. Habibie memutuskan memutuskan memberikan opsi II tentang memorandum bagi rakyat Timor Timur. Demokrasi ditempatkan sebagai tema sentral dalam setiap pidato BJ.Habibie.
Abdurahman Wahid (Gus Dur), telah menggunakan language politic untuk kepentingan propaganda. Gus Dur sering melontarkan masalah-masalah yang penuh interpretasi sehingga muncul wacana-wacana dan ketika wacana itu sudah klimaks, gus dur hanya mengucap “Gitu aja kok repot”. Suatu ungkapan yang tidak jelas maksudnya, hanya Gus Dur yang faham maknanya. Gus dur juga melakukan propaganda “Fikih Politik” dengan mengganti assalamu’alaikum dengan selamat pagi. Demikian juga ketika Gus Dur melontarkan ide negara tanpa negara, pencabutan tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan komunis.
Sebagai jawabannya, suatu gagasan ‘Revolusi Mental’ adalah hal yang lumrah digunakan dalam berkampanye ataupun gagasan untuk suatu transformasi. Bahasa ini (Revolusi Mental) menjadi suatu realitas keadaan kondisi sosial yang terjadi saat ini. Relevansi penggunaan ‘Revolusi Mental’ sebagai upaya memperbaiki bangsa dan negara sangatlah sesuai karna bukan hanya konteks, tetapi pengalaman mental kita yang lemah merupakan cikal bakal gagasan “Revolusi Mental’. Sebagaimana BJ.Habibie, Nurcholis Madjid dan Gus Dur juga mempropagandakan bahasa yang merupakan propaganda realitas kondisi realita yang terjadi.
Esensi Revolusi Mental
Pada substansinya, makna yang terkandung dalam gagasan ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berfikir, cara merasa, dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sains tekhnologi, seni, agama, dan sebagainya. Pada selanjutnya akan menjadikan mentalitas bangsa lambat laun akan berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
‘Revolusi Mental’ mesti dipahami bukan sekedar seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagi corak cara berfikir, cara merasa, dan cara bertindak yang teraplikasi dalam kebiasaan dan tindakan sehari-hari. Proses pembelajaran demikian akan melahirkan perubahan (Transformasi) , yakni perubahan dari cara berfikir lama (Linier Thinking) ke cara berfikir baru (Syistem Thinking). Hanya dengan inilah ‘Revolusi Mental’ akan menjadi wahana melahirkan Indonesia Baru.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Memulai dengan membangun perubahan dan menyusun inisiatif yang berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari. inisiatif itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
            ‘Revolusi mental’ bukanlah urusan sandiwara sistem sosial maupun mental pelaku.  ‘revolusi mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran moral, serta juga tidak dengan seminar dan pertunjukan.Transformasi sejati hanyalah akan terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui kerutinan ‘Revolusi Mental’ akan terjadi.
            Jika ‘Revolusi Mental’ ini teraplikasi oleh semua lapisan elemen masyarakat, maka akan sejalan dengan Civil Society, yaitu gerakan para warga negara (Citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia.
Gagasan Revolusi mental ini jangan hanya di artikan dengan maksud dan skema perubahan yang di gagas oleh Jokowi, tetapi harus dikonstruksikan secara sosial kepada pihak berwenang dalam hal ini pemerintah. Jika tidak maka hanya akan menjadi sebuah gagasan yang abstrak dan sampai ujung waktu berkuasa akan nihil. Maka Konsepnya akan dirobohkan sendiri oleh kata ‘Revolusi’.

0 comments:

Post a Comment

 
TOP