Tim Transisi tata kelola sepakbola
nasional bentukan Menpora akan menggelar turnamen Piala Kemerdekaan 2015 pada
15 Agustus-6 September 2015.
Pertanyaannya, apakah turnamen ini akan
menjadi gambaran tata kelola sepakbola yang baik?. Pertanyaan ini sangat penting
dijawab agar masyarakat pecinta sepakbola tanah air mendapatkan pemahaman yang
komprehensif tentang piala kemerdekaan, terlebih di tengah kebingungan
masyarakat dengan dibentuknya Tim Transisi.
Tata
Kelola yang baik
Ada beberapa hal reformasi tata kelola sepakbola nasional yang
telah dikerjakan Tim Transisi yang mana tidak dilakukan pada turnamen atau liga
sebelumnya.
Pertama, standard
penyelenggaraan turnamen ini didasarkan dengan prinsip-prinsip transparansi dan
tata kelola sepakbola yang baik. Buktinya, Klub-klub perserta turnamen Piala
Kemerdekaan telah mengetahui berapa jumlah match fee yang akan mereka dapatkan,
baik di dalam penyisihan grup, semi final maupun final. Hal ini menunjukkan komitmen
Tim Transisi atas kejelasan match fee dan prinsip transparansi turnamen.
Kedua, Klub-klub
harus memenuhi persyaratan NPWP, SK Kemenkumham, dan di bawah PT klub yang
jelas. Persyaratan ini merupakan suatu hal yang sangat rumit, mengingat masih
banyak klub-klub Indonesia yang tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut.
Sebagaimana ketidakmampuan PSSI memenuhi persyaratan ini dalam penyelenggaraan
turnamen dan liga yang kemudian berujung pada pembekuan federasi tersebut. Di
sisi lain Tim Transisi mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat ketat
ini dengan bukti legitimasi Badan Olahrga Profesional Indonesia (BOPI) berupa
keluarnya surat rekomendasi penyelenggaraan turnamen.
Ketiga, Tim Transisi
telah mengadakan kesepakatan bersama (MoU) dengan klub peserta turnamen Piala
Kemerdekaan 2015 agar bersedia membayar dan memberi perlindungan kepada pemain
selama turnamen berlangsung. Dengan
demikian, tidak akan ada lagi insiden pemain yang tidak dibayar ataupun pemain
yang meninggal karena tidak mampu melakukan pengobatan sebagaimana terjadi pada
turnamen atau liga sebelumnya.
Keempat, Tim Transisi
juga telah mengadakan kesepakatan bersama (MoU) dengan wasit dan perangkat
pertandingan agar tidak ada lagi pengaturan pertandingan (Match Fixing) dan
sepakbola gajah. Di samping itu kerjasama juga dilakukan dengan lembaga-lembaga
penegak hukum seperti KPK, POLRI, dan PPTAK. Dengan begitu, nyaris tidak ada
celah bagi para mafia bola untuk melakukan kecurangan-kecurangan di dalam
turnamen ini.
Dari beberapa poin di atas, sangat mungkin turnamen Piala
Kemerdekaan 2015 akan menjadi contoh manajerial dan tata kelola sepakbola yang
baik. Patut kita apresiasi, sebagai langkah awal untuk membangun tata kelola
sepakbola yang transparan, kredibel, dan akuntabel. Oleh karena selama ini
masyarakat hanya disuguhi dengan pertandingan-pertandingan yang telah
dipolitisasi oleh para mafia bola demi kepentingan politis dan sektarian
semata.
Faktanya, beberapa kecurangan seringkali terjadi seperti judi bola
melalui pengaturan skor akhir pertandingan, permainan terkait transfer pemain,
suap perangkat pertandingan yang meliputi wasit, badan pengawas pertandingan,
suap tuan rumah kompetisi, atau pemilihan ketua umum PSSI dan perangkat di
bawahnya. Para mafia tersebut dengan leluasa bermain di dalam federasi yang
selama ini mengelola sepakbola tanah air. Sepakbola Indonesia kini berada di
dalam genggaman para mafia bola yang tersebar secara masif dan menjadi penyakit
yang akut.
Di sisi lain, animo masyarakat terhadap sepakbola begitu besar.
Olahraga yang digemari oleh masyarakat dunia ini hampir setiap pertandingannya
penuh dengan euforia penonton. Tak jarang pula hooliganisme sepakbola yang
menggambarkan fanatisme masyarakat terhadap sepakbola berujung ricuh. Lagi-lagi
federasi kita tidak mampu mengantisipasinya, karna kepentingan politis dan
bisnis mengakibatkan perubahan sosial dan ekonomi persepakbolaan yang lebih
baik tidak terjadi.
Maka menurut perspektif marxis dalam “kriminologi baru”, bahwa
hooliganisme sepakbola harus dijelaskan sesuai dengan perubahan sosial dan
ekonomi yang lebih luas. Sepakbola sebagai olahraga kelas pekerja, yang mana
klub sangat terikat dengan fans atau komunitas sekeliling harus memberi
kontribusi dalam perekonomian yang lebih baik. Namun, Fans klub merasa bahwa klub
adalah suatu “demokrasi partisipatoris” dan pandangan mereka punya daya tawar
dalam ruang pengurus atau di lapangan. Akibatnya, klub dijadikan sebatas alat
untuk memeroleh legitimasi dukungan klub terhadap federasi yang selama ini
mengatur tata kelola sepakbola nasional.
Sungguh keadaan sepakbola yang memprihatinkan, apalagi saat ini Indonesia
berada di peringkat (165) urutan FIFA, jauh tertinggal di bawah Filipina (125),
Vietnam (153), Thailand (139), Singapura (155), bahkan tertinggal dari Timur
Leste (163). Anjloknya prestasi sepakbola Indonesia ini tak lepas dari pengaruh
kepentingan mafia bola baik secara politik, bisnis dan kekuasaan.
Sistem dari perbuatan yang tidak baik ini harus segera diperbaiki
dalam reformasi tata kelola yang baik. Gejala ini sudah berlaku bertahun-tahun
lamanya dalam riwayat persepakbolaan Indonesia. Kalau reformasi sepakbola
dilakukan, bukan berarti merupakan langkah sewenang-wenang pemerintah, tetapi
intervensi perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan federasi atau organisasi
yang mengenal beda antara aspirasi sektarian, individual, dengan aspirasi sepakbola
yang bersih dan profesional.
Pemerintah juga melakukan intervensi bukan tanpa dasar. Legal
Standing pemerintah berada di dalam Undang-Undang No 3 tahun 2005 yang
menjelaskan peran pemerintah dan kewajiban pemerintah dalam sistem keolahragaan
nasional seperti yang disebutkan pada pasal 13 ayat 1 bahwa pemerintah
mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan dan
mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional.
Harapan
Kita semua berharap kepada Tim Transisi untuk memperbaiki tata
kelola sepakbola Indonesia yang lebih baik. Tim transisi harus menjadikan
momentum turnamen piala kemerdekaan sebagai langkah awal konsolidasi dengan
klub-klub peserta turnamen, agar reformasi sepakbola nasional bisa didukung
oleh seluruh stakeholder sepakbola. Hal ini harus diperhatikan, mengingat
turnamen ini menjadi sangat penting dan besar, karna membawa nama 70 tahun Kemerdekaan
Indonesia, perintah Menteri yang disetujui Presiden dan gambaran tata kelola
sepakbola yang baik.
Di bawah tanggung jawab Tim Transisi, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, kita semua perlu optimis membangun manajerial dan tata kelola
sepakbola yang transparan, kredibel, dan akuntabel. Terutama kita membutuhkan
federasi yang profesional dan bersih demi sepakbola yang berprestasi di masa
kini dan masa depan. Di bawah kepemimpinan federasi sepakbola yang bersih dan
profesional disertai dukungan penuh masyarakat dan elite sepakbola, negara ini
bisa jadi negara yang memiliki prestasi sepakbola yang membanggakan di kancah
internasional.
Untuk itu, dalam konteks reformasi tata kelola sepakbola yang baik,
masyarakat dan seluruh elite sepakbola
harus mendukung dan menyambut turnamen Piala Kemerdekaan 2015 dengan optimis.
Karena jika tidak, konsep reformasi tata kelola sepakbola yang kita harapkan hanya
akan menjadi sebatas wacana dan tidak akan pernah terwujud tanpa dukungan dari
kita semua.
Semoga turnamen Piala Kemerdekaan 2015 bisa menjadi contoh manajerial
baru tata kelola sepakbola nasional yang baik.
0 comments:
Post a Comment