Loading...
Monday, October 5, 2015

Membangun Kesadaran Intelektual PMII



Tanggung jawab warga PMII dalam membangun kesadaran intelektual sangat besar. Sebab, PMII terdiri dari mahasiswa yang akan memimpin dan mengembangkan gagasan intelektual di ranah kampus.
Fakta Historis
Di era 80-an kader PMII sebagai ormas mahasiswa yang berbasis kultural pesantren mampu membangun dan mewujudkan perangkat basis intelektual. Para aktivis PMII berupaya terus menempa diri dan mengasah kepekaan intelektualitasnya.
Pada wilayah pengembangan intelektual, PMII mencurahkan perhatiannya pada tema-tema pokok sekitar liberasi, civil society, dan membongkar terhadap ideologi dan doktrin teologi yang membuat masyarakat bisu untuk meminta hak hidup dan berfikir. Bahkan wacana Open Society-nya Karl Popper, sosialismenya  Karl Marx, dan masyarakat komunikatifnya Habermas dijadikan sebagai acuan diskusi di forum-forum PMII.
Di bidang keislaman, PMII sangat gelisah dengan kelompok modernis yang memakasakan panji dan simbol keislaman pada wilayah kebangsaan. Mereka kalangan modernis yang menjadikan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Yusuf al-Qordlowi sebagai landasan utama keagamaan, dilawan dengan pemikiran-pemikiran liberasi penuh pembebasan Muhammad Arkoun, al-Jabiri, Muhammad Thoha, dan Samir Amin.
          Dengan landasan intelektual itu, Maka tak heran jika pada tahun 1990-an PMII mampu melahirkan Lembaga Kajian Islam dan Intelektual (LkiS) yang dibangun oleh PMII Yogyakarta. Pada awalnya kelompok ini secara intensif menjadikan dirinya sebagai tempat menempa diri dan mengasah kepekaan sosial dan intelektual. Dalam perkembangan selanjutnya LkiS mampu menjadi arus utama gerakan intelektual generasi muda NU melalui program-program kajian, penelitian, penerbitan serta pendidikan.
          Dari semua proses intelektualitas aktivis PMII itu, maka dapat dijelaskan  itulah mengapa mereka banyak berkiprah di dunia pendidikan, Universitas, LSM, pers, penerbitan, advokasi, gerakan sosial dan keagamaan. PMII membuktikan bahwa ia adalah sentral dan simpul jaringan intelektual di internal kalangan intelektual muda Islam Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa PMII sangat sadar bahwa gerakan yang paling riil dan efektif adalah pada wilayah intelektual yang melahirkan pengembangan dan pengabdian masyarakat. Bukan pada wilayah gerakan kekuasaan yang ujunganya adalah orientasi karier yang tinggi bagi individu.       
          Kesadaran Normatif
Namun dalam beberapa dekade terakhir ini, kegiatan PMII cenderung normatif. Faktanya, Kegiatan-kegiatan PMII hanya sebatas kegiatan dalam ruang tradisi keagamaan Islam Indonesia. Baik dalam kegiatan formal, nonformal dan informal. Kegiatan-kegiatan seperti Tahlilan, dibaiyah, barzanji, maulid nabi, ziarah kubur dan lain-lain terus dilaksanakan, sementara pendalaman intelektualisme mahasiswa dinomor duakan.
Padahal hemat penulis, kegiatan-kegiatan itu tidak perlu dikhawatirkan akan hilang eksistensinya dan menjauh dari tradisi-tradisi individu warga pergerakan. Karna warga PMII  sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis sosial NU dan pesantren adalah kelompok gerakan mahasiswa yang paling otoritatif mewarisi tradisi pemahaman keagamaan Islam Nusantara. Hal ini tidak terlepas dari tradisi pesantren yang menekankan pada penguasaan khazanah klasik, kualitas individu dan sosial, baik dalam pendekatan fikih maupun tasawuf.
          Sementara dalam perspektif sosiologis, PMII berangkat dari realitas sosial NU yang tradisional, agraris dan pada umumnya tinggal di daerah pedesaan. Sehingga warga PMII menjadi kader yang memiliki hak waris menjaga tradisi tersebut.
          Bahkan, mahasiswa-mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren juga akan menjadi pondasi untuk menjaga tradisi dan pemikiran Islam Indonesia. Karna mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, secara kultural adalah sama dengan warga PMII. Mereka juga bertahil, ziarah kubur, dan mengakulturasi ajaran Islam dan tradisi kebudayaan Indonesia. Hanya saja, tidak termasuk bagian dari spektrum komunitas struktural PMII.
          Maka pada era mutakhir ini, generasi bangsa bernama PMII sampai kepada kesadaran bahwa terdapat sesuatu yang kurang di dalam dirinya. Basis dan khazanah intelektual serta potensi-potensi warga PMII yang sangat besar belum mampu digerakkan. Sementara dalam setiap jenjang pengkaderan selalu ditekankan pada tradisi kritis dan arah gerakan aksi tapi lupa akan kesadaran intelektual. Itulah sebabnya, kalangan warga PMII yang concern di bidang intelektual dan memiliki potensi besar untuk menjadi pemikir, akademisi dan dosen, menjadi pasif dalam ber-PMII. Kita tidak bisa berharap banyak, karna mereka hanya menjadikan PMII sebagai simbol pakaian, bukan identitas dan pola pikir gerakan.  
          Untuk itu, pada konteks kekinian, kesadaran intelektual PMII harus kita bangun kembali. Kajian-kajian, diskusi, harus kembali dihidupkan. Pemikiran-pemikiran liar dan kritis terhadap arus pemikiran Islam kontemporer harus lebih ditingkatkan. Sikap yang paling lugas diambil oleh kalangan PMII hari ini adalah mengembangkan semangat dan corak pemikiran berbasis intelektual. Karna jika tidak, PMII hanya akan menjadi gerakan organisasi massa besar tetapi miskin kualitas intelektual.

0 comments:

Post a Comment

 
TOP