Tanggung
jawab warga PMII dalam membangun kesadaran intelektual sangat besar. Sebab,
PMII terdiri dari mahasiswa yang akan memimpin dan mengembangkan gagasan
intelektual di ranah kampus.
Fakta Historis
Di era 80-an kader PMII sebagai ormas mahasiswa yang
berbasis kultural pesantren mampu membangun dan mewujudkan perangkat basis
intelektual. Para aktivis PMII berupaya terus menempa diri dan mengasah
kepekaan intelektualitasnya.
Pada wilayah pengembangan intelektual, PMII
mencurahkan perhatiannya pada tema-tema pokok sekitar liberasi, civil society,
dan membongkar terhadap ideologi dan doktrin teologi yang membuat masyarakat
bisu untuk meminta hak hidup dan berfikir. Bahkan wacana Open Society-nya
Karl Popper, sosialismenya Karl Marx, dan masyarakat komunikatifnya
Habermas dijadikan sebagai acuan diskusi di forum-forum PMII.
Di bidang keislaman, PMII sangat gelisah dengan
kelompok modernis yang memakasakan panji dan simbol keislaman pada wilayah
kebangsaan. Mereka kalangan modernis yang menjadikan Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Yusuf al-Qordlowi sebagai landasan utama
keagamaan, dilawan dengan pemikiran-pemikiran liberasi penuh pembebasan
Muhammad Arkoun, al-Jabiri, Muhammad Thoha, dan Samir Amin.
Dengan landasan intelektual itu, Maka tak heran jika pada tahun 1990-an PMII
mampu melahirkan Lembaga Kajian Islam dan Intelektual (LkiS) yang dibangun oleh
PMII Yogyakarta. Pada awalnya kelompok ini secara intensif menjadikan dirinya
sebagai tempat menempa diri dan mengasah kepekaan sosial dan intelektual. Dalam
perkembangan selanjutnya LkiS mampu menjadi arus utama gerakan intelektual
generasi muda NU melalui program-program kajian, penelitian, penerbitan serta
pendidikan.
Dari semua proses intelektualitas aktivis PMII itu, maka dapat dijelaskan
itulah mengapa mereka banyak berkiprah di dunia pendidikan, Universitas,
LSM, pers, penerbitan, advokasi, gerakan sosial dan keagamaan. PMII membuktikan
bahwa ia adalah sentral dan simpul jaringan intelektual di internal kalangan
intelektual muda Islam Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa PMII sangat sadar bahwa
gerakan yang paling riil dan efektif adalah pada wilayah intelektual yang
melahirkan pengembangan dan pengabdian masyarakat. Bukan pada wilayah gerakan
kekuasaan yang ujunganya adalah orientasi karier yang tinggi bagi
individu.
Kesadaran Normatif
Namun dalam beberapa dekade terakhir ini, kegiatan
PMII cenderung normatif. Faktanya, Kegiatan-kegiatan PMII hanya sebatas
kegiatan dalam ruang tradisi keagamaan Islam Indonesia. Baik dalam kegiatan
formal, nonformal dan informal. Kegiatan-kegiatan seperti Tahlilan, dibaiyah,
barzanji, maulid nabi, ziarah kubur dan lain-lain terus dilaksanakan, sementara
pendalaman intelektualisme mahasiswa dinomor duakan.
Padahal hemat penulis, kegiatan-kegiatan itu tidak
perlu dikhawatirkan akan hilang eksistensinya dan menjauh dari tradisi-tradisi
individu warga pergerakan. Karna warga PMII sebagai organisasi mahasiswa
yang berbasis sosial NU dan pesantren adalah kelompok gerakan mahasiswa yang
paling otoritatif mewarisi tradisi pemahaman keagamaan Islam Nusantara. Hal ini
tidak terlepas dari tradisi pesantren yang menekankan pada penguasaan khazanah
klasik, kualitas individu dan sosial, baik dalam pendekatan fikih maupun
tasawuf.
Sementara dalam perspektif sosiologis, PMII berangkat dari realitas sosial NU
yang tradisional, agraris dan pada umumnya tinggal di daerah pedesaan. Sehingga
warga PMII menjadi kader yang memiliki hak waris menjaga tradisi tersebut.
Bahkan, mahasiswa-mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang pernah mengenyam
pendidikan di pesantren juga akan menjadi pondasi untuk menjaga tradisi dan
pemikiran Islam Indonesia. Karna mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di
pesantren, secara kultural adalah sama dengan warga PMII. Mereka juga bertahil,
ziarah kubur, dan mengakulturasi ajaran Islam dan tradisi kebudayaan Indonesia.
Hanya saja, tidak termasuk bagian dari spektrum komunitas struktural PMII.
Maka pada era mutakhir ini, generasi bangsa bernama PMII sampai kepada
kesadaran bahwa terdapat sesuatu yang kurang di dalam dirinya. Basis dan
khazanah intelektual serta potensi-potensi warga PMII yang sangat besar belum
mampu digerakkan. Sementara dalam setiap jenjang pengkaderan selalu ditekankan
pada tradisi kritis dan arah gerakan aksi tapi lupa akan kesadaran intelektual.
Itulah sebabnya, kalangan warga PMII yang concern di bidang intelektual dan
memiliki potensi besar untuk menjadi pemikir, akademisi dan dosen, menjadi
pasif dalam ber-PMII. Kita tidak bisa berharap banyak, karna mereka hanya
menjadikan PMII sebagai simbol pakaian, bukan identitas dan pola pikir gerakan.
Untuk itu, pada konteks kekinian, kesadaran intelektual PMII harus kita bangun
kembali. Kajian-kajian, diskusi, harus kembali dihidupkan. Pemikiran-pemikiran
liar dan kritis terhadap arus pemikiran Islam kontemporer harus lebih
ditingkatkan. Sikap yang paling lugas diambil oleh kalangan PMII hari ini adalah
mengembangkan semangat dan corak pemikiran berbasis intelektual. Karna jika
tidak, PMII hanya akan menjadi gerakan organisasi massa besar tetapi miskin
kualitas intelektual.
0 comments:
Post a Comment