Malam itu kami berlima minum kopi, di depan Pusat Studi Qur’an,
lembaga yang didirikan Prof. Quraish Shihab, di jalan pas depan Fakultas
Kedokteran, di bawah naungan pohon dan kursi seadanya. Malam itu cuaca cerah.
Taburan bintang di langit malam serta lantunan ayat-ayat tadarus di awal bulan
ramadhan membuat nuansa nongkrong kami lebih asik. Kami duduk sambil mendiskusikan
banyak hal. Dimulai dari politik, sepakbola, sosial, Islam, sampai perkawinan.
Di awal obrolan, kami memulai perihal ramadhan, dinamikanya, serta
tingkah masyarakat menyambut ramadhan.
Iya, kini ramadhan telah datang. Bulan yang paling mulia dibanding
seluruh 12 bulan Hijriah, sejak Muharram, Syafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir,
Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Syawwal, Zulkaidah dan Zulhijjah.
Tidak hanya mulia, tetapi juga peluang sangat baik untuk meminta ampunan (Maghfiroh)
atas segala dosa yang kita lakukan
selama 11 bulan lalu.
Setiap muslim bergembira menyambut
kedatangan bulan ini. Segala amal ibadah, seperti shalat wajib, sunnah tarawih,
tadarus, zikir, infaq, sedekah, menyantuni fakir miskin, anak yatim dan segala
perbuatan-perbuatan baik lainnya, jauh berlipat ganda dibanding bulan-bulan
lain.
Kata Prof. Quraish Shihab, di acara
metro TV tafsir al-Mishbah, ramadhan adalah bulan Tashfiyah (menyucikan
diri) dan muhasabah (introspeksi). Di bulan Ramadhan, kita seolah masuk
bengkel. Ibarat mobil yang telah dipakai selama 11 bulan, tentu perlu diservis,
diperiksa akinya, radiatornya, businya, mesinnya apakah sudah karatan, minyak
rem, oli, perseneling, dan sebagainya apakah sudah tidak baik.
Ramadhan juga menjadi bulan pelatihan
dan pendidikan (Syahru Ta’limiyah wa Syahru Tarbiyyah) untuk diterapkan
pada 11 bulan mendatang. Melatih diri untuk taat beribadah, melatih diri untuk
menjaga amarah, santun, rendah hati, tidak pendusta, jujur, tidak kikir, tidak
royal. Singkatnya, momentum melatih diri untuk melaksanakan apa yang Allah
perintah dan meninggalkan apa yang Allah larang.
Salah satu dari teman kami
menyeletuk, cak ! (Sahabat-sahabat biasa memanggilku), di masjid Fathullah, al-Muhajirin, an-Nubala,
dan sebagian besar masjid-masjid lain sekitar Ciputat sangat ramai dan padat
oleh jemaah yang menunaikan shalat tarawih. Terasa rumah ibadah itu sempit,
tidak mampu menampung jamaah yang berjubel. Kataku, pengalaman empirisku, ini
sudah menjadi penyakit masyarakat, diawal semangat, membeludak, lama-kelamaan
jemaah makin berkurang seperti ekor tikus, semakin ke ujung makin kecil.
Apalagi di malam pada 10 malam terakhir puasa, yang kata para muballigh disebut
malam babak final, mesjid, langgar, surau terasa sepi dan lapang. mudah-mudahan
ini hanya pesimisku.
Kata dia, setuju! tapi kita harus selalu optimis, meskipun realitas
kacau balau, ritual ibadah hanya menjadi sebuah seremonial. Haha jangan-jangan
benar kata Karl Marx bahwa agama hanyalah ritual yang menjadi candu bagi masyarakat
(religion as opium of the people). Ibarat kau merokok itu, adalah candu.
Haha sambil menarik lebih kencang hisapan asap rokok itu dia ketawa.
Temanku melanjutkan, Bagaimana
dengan imam shalat?. tentu, Jemaah akan memberi penilaian sendiri terhadap para
ustad dan imam shalat. Ada yang mengatakan penat mengikuti imam karena ayat
yang dibaca panjang-panjang. Sebaliknya ada yang mengatakan imam seperti lewat
jalan tol, saking cepatnya lidah imam membaca ayat-ayat dalam shalat.
Di dalam bayanganku, bagaimana kalangan orang-orang sepuh penderita
asam urat, reumatik atau penyakit sepuh lainnya menggerutu karena saking
lamanya berdiri tegak menahan sakit. Dan bagaimana pula mereka menggerutu
karena belum selesai membaca Subhana Robbiyal ‘adzimi wabihamdihi di waktu
ruku’, sang imam telah memberi aba-aba untuk tegak berdiri.
Haha kelak jika kita harus kembali ke kampung halaman untuk
mengabdi pada masyarakat, kita harus memahmi situasi kondisi jemaah kita cak.
Haha Siaap Insha Allah celotehku..
Obrolan kami terus berlanjut. Salah satu temanku berkata, masih teringat
jelas dibenak kami, ketika menghadiri berbagai pernikahan teman-teman sejawat
bulan lalu. Iya, ketika bulan Sya’ban memang sangat marak pernikahan antara
bujang dan gadis. Kedua jenis kelamin ini, seperti kita maklumi, nafsu seksnya
sedang dalam kondisi prima, bergejolak atau masa pancaroba pertama. Bagaimana
kalau keluar dari koridor? Mereka menerobos hubungan intim di waktu siang di
bulan Ramadhan?
Aku jadi Teringat nasehat ustadku. Ketika itu, aku masih duduk di
bangku sekolah kelas 2 Madrasah Aliyah
Keagamaan Negeri (MAKN) Jember.
Beliau menerangkan, bahwa suami istri yang bersetubuh di siang hari
dalam bulan Ramadhan didenda memerdekakan budak. Kalau tidak mampu, puasa dua
bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang msikin satu hari. Jika satu
orang miskin saja, maka serahkan makanan selama 60 hari. Jika tidak sanggup
semua itu, satu-satunya jalan adalah menjauhi hubungan intim itu pada siang
hari. Ketakwaan pengantin baru diuji pada siang hari di bulan ramadhan.
Beliau lanjutkan, jika hubungan dilakukan di malam hari, wajib
mandi junub sebelum fajar. Kedinginan sekalipun itu resiko. Selain berhubungan
intim, istimna’ (onani/ self service seks) juga dilarang. Namun, bermimpi
melakukan hubungan intim dan keluar mani tidaklah membatalkan puasa.
Bagi perempuan, Haid dan nifas, serta kotoran yang keluar seusai
melahirkan, termasuk yang membatalkan puasa. Maka puasanya nanti harus dibayar
dikemudian hari (selain bulan ramadhan) sebanyak hari-hari kamu tidak berpuasa.
Pertanyaannya, Bagaimana dengan memeluk dan mencium istri di bulan
puasa ? ada yang mengatakan batal ada yang mengatakan makruh. Kecuali bagi
pasangan suami-istri yang lanjut usia celotehnya. Haha
Sudahlah pembahasan kita terlalu lebar. Saatnya sahur..
Marhaban
Ya Ramadhan. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa...
0 comments:
Post a Comment