Loading...
Sunday, December 4, 2016

FOTO PALSU






Tadi pagi saya membaca artikel yang poin intinya begini: “Jika orang berbahagia ia akan menampilkan foto profil di media sosial yang tak jauh dari rutinitas kesehariannya. Sementara mereka yang mengalami tekanan dan terisolasi, gambarannya akan berbeda dan akan mencolok.”

Setelah membaca artikel itu, saya tertawa sendiri, karena sampai sekarangpun saya menampilkan foto diri dengan berusaha mengambil sudut yang membuat saya menarik. Tak jarang pula, saya kerap meminta difoto secara berulang-ulang agar bisa memilih mana yang paling  bagus dan tampan.

Saya juga kerap menggunggah berbagai tempat yang sebenarnya tidak bagus, tapi saya berusaha mengakali dengan mencari sudut foto yang hasilnya bisa terlihat keren. Bahkan saya kerapkali menggunakan aplikasi secara maksimal untuk membuat wajah menjadi tidak berkerut, tampak lebih putih, mata terlihat lebar, hidung jadi mancung, air laut lebih terlihat biru, padahal faktanya tidak demikian. 

Nurani saya kemudian berbisik. “kok sampeyan disinggung artikel itu malah tertawa sih?, kan foto-fotomu itu mencerminkan kalau kamu manusia yang hidup di bawah tekanan dan terisolasi serta tidak berbahagia”. 

Nurani saya terus mengingau “foto-fotomu itu tidak hanya mencerminkan manusia yang gak bahagia, stres, dan terisolasi, tetapi juga mencerminkan kalau kamu itu seorang penipu, pembohong.” Kemudian saya terdiam. “kamu itu sudah membohongi dirimu sendiri dan orang lain!”.

Sungguh, saya sangat tersinggung sekali diberi predikat seorang penipu dan pembohong. Karna selama ini saya merasa bukan manusia seburuk itu. Meskipun itu terjadi, tapi itu tak bisa dong mewakili kepribadian saya keseluruhannya. Jangan berpikir simplisid!

Nurani saya mesih ngedumel “Ha Ha Ha, ko sampeyan bilang kadang-kadang. Sampeyan itu sudah mengunggah foto palsu lebih dari lima tahun lalu. Lima tahun itu bukan kadang-kadang! Itu emang udah jadi kepribadianmu”.

Lagi-lagi saya terdiam, benarkah saya ini pembohong? Benarkah apa yang dikatakan nurani kecil saya ini? saya tidak pernah berfikir memanipulasi foto itu adalah sebuah kebohongan. Mengapa saya meminta orang untuk mengabadikan foto sampai berulang-ulang kali? Jujur, saya takut melihat kejujuran. Saya tak bisa menerima keadaan saya kalau hidung saya gede, mata sipit, badan kurus, dll.

Saya bahkan berterima kasih kepada aplikasi smartphone yang tak saya sadari membuat saya menjadi manusia pembohong dan makhluk manipulator. Bahkan teman saya ada yang punya aplikasi yang membuat wajahnya langsung mulus. 

Saya merenung, memperhatikan telepon genggam yang menyenangkan, tetapi membuat seseorang menjadi semakin jauh dari sifat jujur.  Teknologi yang membuat seseorang tidak bisa menerima kenyataan, teknologi yang membuat manipulator-manipulator.

Pertanyaan saya, apakah kejujuran itu menakutkan? Akankah ia mengancam? Bisa jadi saya memasukkan kejujuran ke dalam daftar hitam hidup. Dalam beberapa hal mungkin kejujuran itu bisa memporak-porandakan keadaan saya yang selama ini tenang meskipun penuh kebohongan. 

Padahal, hampir seperempat abad  saya hidup di dunia ini telah diajari untuk menjadi jujur. Orang tua, ustad, kyai di pesantren, guru-guru di sekolah telah mendidik saya untuk berlaku jujur. Tetapi kenyataannya, kejujuran yang diajarkan itu jadi bumerang.

Apakah selama ini saya menjadikan kejujuran itu hanya sebagai sarana untuk menjaga image supaya terlihat baik dan terlihat benar? Tidak jujur saya jadikan alat menjadi anak emas manusia dan bukan berusaha untuk menjadi anak emas Tuhan yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu saya berharap, semua foto-foto yang saya unggah yang merupakan sebuah kebohongan itu, tidak dianggap sebuah dosa oleh Tuhan yang Maha Kuasa, karena hal itu hanya persoalan sepele. Sepele karena hanya menghilangkan kerut, mengecilkan bentuk wajah, memancungkan hidung, meski yang Maha Kuasa menciptakan saya hidung besar dan laut yang tak terlalu biru. 

Kemudian Nurani saya berkicau kembali: “Semua itu dimulai dari hal-hal yang sepele. Seperti korupsi. Tapi lama-lama sepele itu menjadi bukit, bukit dosa!”

0 comments:

Post a Comment

 
TOP