Tadi
pagi saya membaca artikel yang poin intinya begini: “Jika orang berbahagia
ia akan menampilkan foto profil di media sosial yang tak jauh dari rutinitas kesehariannya.
Sementara mereka yang mengalami tekanan dan terisolasi, gambarannya akan
berbeda dan akan mencolok.”
Setelah
membaca artikel itu, saya tertawa sendiri, karena sampai sekarangpun saya
menampilkan foto diri dengan berusaha mengambil sudut yang membuat saya menarik.
Tak jarang pula, saya kerap meminta difoto secara berulang-ulang agar bisa
memilih mana yang paling bagus dan tampan.
Saya
juga kerap menggunggah berbagai tempat yang sebenarnya tidak bagus, tapi saya
berusaha mengakali dengan mencari sudut foto yang hasilnya bisa terlihat keren.
Bahkan saya kerapkali menggunakan aplikasi secara maksimal untuk membuat wajah
menjadi tidak berkerut, tampak lebih putih, mata terlihat lebar, hidung jadi
mancung, air laut lebih terlihat biru, padahal faktanya tidak demikian.
Nurani
saya kemudian berbisik. “kok sampeyan disinggung artikel itu malah tertawa
sih?, kan foto-fotomu itu mencerminkan kalau kamu manusia yang hidup di bawah
tekanan dan terisolasi serta tidak berbahagia”.
Nurani saya terus mengingau “foto-fotomu itu tidak hanya mencerminkan manusia yang gak bahagia, stres, dan terisolasi, tetapi juga mencerminkan kalau kamu itu seorang penipu, pembohong.” Kemudian saya terdiam. “kamu itu sudah membohongi dirimu sendiri dan orang lain!”.
Nurani saya terus mengingau “foto-fotomu itu tidak hanya mencerminkan manusia yang gak bahagia, stres, dan terisolasi, tetapi juga mencerminkan kalau kamu itu seorang penipu, pembohong.” Kemudian saya terdiam. “kamu itu sudah membohongi dirimu sendiri dan orang lain!”.
Sungguh,
saya sangat tersinggung sekali diberi predikat seorang penipu dan pembohong. Karna
selama ini saya merasa bukan manusia seburuk itu. Meskipun itu terjadi, tapi
itu tak bisa dong mewakili kepribadian saya keseluruhannya. Jangan berpikir
simplisid!
Nurani
saya mesih ngedumel “Ha Ha Ha, ko sampeyan bilang kadang-kadang. Sampeyan itu
sudah mengunggah foto palsu lebih dari lima tahun lalu. Lima tahun itu bukan
kadang-kadang! Itu emang udah jadi kepribadianmu”.
Lagi-lagi
saya terdiam, benarkah saya ini pembohong? Benarkah apa yang dikatakan nurani
kecil saya ini? saya tidak pernah berfikir memanipulasi foto itu adalah sebuah
kebohongan. Mengapa
saya meminta orang untuk mengabadikan foto sampai berulang-ulang kali? Jujur,
saya takut melihat kejujuran. Saya tak bisa menerima keadaan saya kalau hidung
saya gede, mata sipit, badan kurus, dll.
Saya
bahkan berterima kasih kepada aplikasi smartphone yang tak saya sadari membuat
saya menjadi manusia pembohong dan makhluk manipulator. Bahkan teman saya ada
yang punya aplikasi yang membuat wajahnya langsung mulus.
Saya
merenung, memperhatikan telepon genggam yang menyenangkan, tetapi membuat
seseorang menjadi semakin jauh dari sifat jujur. Teknologi yang membuat seseorang tidak bisa
menerima kenyataan, teknologi yang membuat manipulator-manipulator.
Pertanyaan
saya, apakah kejujuran itu menakutkan? Akankah ia mengancam? Bisa jadi saya
memasukkan kejujuran ke dalam daftar hitam hidup. Dalam beberapa hal mungkin
kejujuran itu bisa memporak-porandakan keadaan saya yang selama ini tenang
meskipun penuh kebohongan.
Padahal,
hampir seperempat abad saya hidup di
dunia ini telah diajari untuk menjadi jujur. Orang tua, ustad, kyai di
pesantren, guru-guru di sekolah telah mendidik saya untuk berlaku jujur. Tetapi
kenyataannya, kejujuran yang diajarkan itu jadi bumerang.
Apakah
selama ini saya menjadikan kejujuran itu hanya sebagai sarana untuk menjaga image
supaya terlihat baik dan terlihat benar? Tidak jujur saya jadikan alat menjadi
anak emas manusia dan bukan berusaha untuk menjadi anak emas Tuhan yang Maha
Kuasa.
Oleh
karena itu saya berharap, semua foto-foto yang saya unggah yang merupakan
sebuah kebohongan itu, tidak dianggap sebuah dosa oleh Tuhan yang Maha Kuasa,
karena hal itu hanya persoalan sepele. Sepele karena hanya menghilangkan kerut,
mengecilkan bentuk wajah, memancungkan hidung, meski yang Maha Kuasa menciptakan saya hidung besar dan laut yang tak terlalu biru.
Kemudian
Nurani saya berkicau kembali: “Semua itu dimulai dari hal-hal yang sepele. Seperti
korupsi. Tapi lama-lama sepele itu menjadi bukit, bukit dosa!”
0 comments:
Post a Comment