Tulisan ini saya persembahkan kepada sahabat
saya, Risna Nurhasanah, yang sejak 2011 sama-sama berjuang, studi bersama di
UIN Jakarta, khususnya di jurusan Bahasa dan Sastra Arab kelas A. Perempuan
sholehah, pintar dan baik ini akhirnya menjadi yang pertama di antara kami yang
akan mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Ya, pernikahan.
Tentu saja dalam pandangan Islam, pernikahan
merupakan ikatan yang sakral. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan
ghalizan yang menurut terjemahan Kementerian Agama bermakna “perjanjian
yang teguh, kokoh, dan kuat”. Tapi saya memaknainya dengan perjanjian yang
berat. Mengapa? Karena al-Qur’an hanya tiga kali menyebut kata ini.
Pertama,
ketika Allah mengambil sumpah dan janji para nabi ulul ‘azmi (nabi-nabi
yang mendapatkan risalah dan tanggungjawab yang lebih besar dari nabi-nabi yang
lainnya): “Dan [ingatlah] ketika Kami mengambil
perjanjian dari nabi-nabi dan darimu (Ya Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan
Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
(QS. Al-Ahzab[33]:7). Para nabi yang
disebut dalam ayat ini adalah nabi-nabi yang ditinggikan derajatnya di atas
para nabi lainnya.
Kedua,
kata perjanjian yang berat itu disebut Al-Qur’an ketika Allah Swt mengambil
sumpah Bani Israil dan Allah Ta’ala angkat bukit Sina di atas kepala mereka: “Dan telah Kami
angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang
telah kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masukilah
pintu gerbang itu sambil bersujud” dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka:
“Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu” dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” (QS. An-Nisa [4]:154).
Apa yang terjadi ketika Bani Israil melanggar
perjanjian yang berat itu? “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap
apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu
kera yang hina.” (QS. Al-A’raf [7]:166). Dan ketiga,
Al-Qur’an menggunakan kata yang sama untuk menunjukkan pernikahan. “...Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS.
Al-Nisa [4]: 21). Apa maknanya?
Bagi Umat Islam, perjanjian pernikahan: ijab
dan kabul sama beratnya dengan perjanjian Allah Ta’ala dengan para nabi ulul
azmi, dan sama beratnya dengan perjanjian bani Israil ketika di atas mereka
bukit Sina melayang menjadi saksi. Bila pernikahan itu dipelihara dengan baik,
Allah Ta’ala akan muliakan keluarga itu di atas yang lainnya seperti Dia
muliakan para nabi ulul ‘azmi di antara nabi yang lainnya. Sebaliknya, bila
seorang mukmin berlaku aniaya terhadap janjinya, terhadap akad nikahnya, Tuhan
akan rendahkan ia seperti Bani Israil yang melanggar sumpah, dan menjadikan
mereka “kera yang hina”. Naudzubillah.
Menariknya, jika ada orang Islam menikah, atau
bila mereka ditanya apa yang diinginkan dari sebuah keluarga, biasanya mereka
akan menjawab dengan tiga kata: Sakinah, mawaddah, warahmah. Atau di kalangan
anak muda populer dengan singkatan SAMARA. Tahukah mereka apa makna dari ketiga
kata itu? Biasanya bila ditanya, mereka akan menjawab: “Ya, pokoknya...bahagia.”
Secara sederhana, sakinah berasal dari kata sakana-yaskunu-sakanan,
yang artinya diam. Rumah atau tempat tinggal dalam bahasa Arab disebut maskan,
dari kata yang sama. Singkatnya, suami-istri-anak yang sakinah adalah dia yang
senang menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya. Dari waktu yang digunakan
bersama keluarga inilah muncul ketenteraman dan kebahagiaan.
Mawaddah dari kata wadda-yawuddu-wuddan,
yang artinya kerinduan yang sangat. Di antara nama Allah Ta’ala yang indah
adalah: al-wadud, yang maha merindukan. Bayangkanlah bila kita merantau,
dan muncul keinginan untuk kembali ke kampung halaman. Mawaddah adalah
kerinduan yang besar terhadap keluarga, terhadap isteri dan anak-anak yang
ditinggalkan.
Adapun Rahmah adalah sifat Tuhan, sumber kasih
dan sayang. Ibaratnya, Tuhan mengasihi dan menyayangi semua makhluk, bahkan
mereka yang terang-terangan bermaksiat kepada-Nya. Bila seseorang atau keluarga
sampai pada tahap ini, terbuka luas pintu maaf mereka.
Nah, kali ini sahabat saya dan kita semua keluarga BSA A, akan mengikat perjanjian suci dan berat itu. Mari mendo’akan kebahagiaan mereka berdua dengan mengucapkan “Semoga sakinah, mawaddah wa rahmah” dengan makna yang dikandung dalam kata-kata itu. Bukan hanya dengan singkatan SAMARA.
0 comments:
Post a Comment