Dalam beberapa hari kedepan, jutuan umat Nabi Muhammad SAW akan berangkat menuju Tanah Suci guna menunaikan Ibadah haji. Ibadah ini tidak saja harus dimaknai sebagai penunaian atas rukun Islam kelima, tetapi juga momentum jutaan wakil umat Islam dari berbagai penjuru dunia untuk mempelajari makna kenabian, nilai penting persatuan, dan nasib kemanusiaan universal. Ibadah ini adalah simbol ketaatan sang hamba pada Allah sebagai sang skenario alam semesta. Ia tak ubahnya seperti alam; gambaran Islam yang utuh, Islam yang bukan hanya kata-kata, tetapi dalam aksi.
Ali
Syari’ati dalam bukunya, Hajj: Reflections on its Rituals, menyebut
bahwa esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah.
Haji adalah drama simbolik dari filsafat penciptaan anak-cucu Adam. Dalam drama
simbolik itu, Allah sebagai sutradara. Tema yang diproyeksikan adalah aksi (movement)
dengan karakter pelaku: Adam, Ibrahim, Hajar, dan Iblis. Lokasi-lokasi
pertunjukannya pun dilakukan di tempat-tempat suci: Masjid Haram, Mas’a,
Arafah, Masy’ar, dan Mina.
Simbol-simbolnya
adalah Ka’bah, Shafa dan Marwa, siang dan malam, terbit dan tenggelamnya
matahari, berhala-berhala dan pengorbanan. Pakaian dan ornamennya adalah Ihram,
Halq dan Taqshir. Siapa aktornya? Inilah yang luar biasa, tiada
lain, dan tiada bukan, yaitu setiap orang yang melaksanakan haji itu sendiri. Dan
sang haji pula yang memainkan semua peran sebagai Adam, Ibrahim sekaligus
Hajar.
Drama
kolosal haji itu bermula di miqat makani, yaitu di mana saat memulai
rukun pertama haji: ihram. Pada saat ihram, semua identitas terutama yang
melekat di badan harus ditinggalkan dan diganti dengan kain putih menutupi
tubuh. Ihram adalah simbol kesucian, bahwa di hadapan Allah diri bukanlah
siapa-siapa, tak lain hanya makhluk lemah yang sama kedudukannya di mata Tuhan.
Segala
kesenangan dan kepemilikan tidak berlaku. Semua dilepaskan dan dikembalikan
pada Tuhan. Seluruh pikiran, keinginan, dan perbuatan dilemparkan ke dalam
keikhlasan dan kebersihan dengan ketulusan ibadah. Pikiran yang masih larut
dalam delusi, keinginan yang masih tertarik dengan materi, dan perbuatan yang
jauh dari kewaspadaan hanya akan menyisakan haji yang sia-sia atau mardud
karena esensi haji masih jauh dari harapan.
Setiap sang
haji juga harus melewati fase tawaf, yaitu drama simbolik mengelilingi Ka’bah
sebanyak tujuh putaran. Sang haji mengelilinginya dalam sebuah gerakan yang
sirkular yang melambangkan ketetapan (konstansi) dan keabadian Allah. Sedangkan
manusia yang berbondong-bondong mengelilinginya adalah simbol aktivitas dan
transisi makhluk-makhlukNya. Tawaf melambangkan bahwa Allah tidak mesti dicari
di langit melalui metafisika saja, tetapi pencarian itu dapat dilakukan di muka
bumi. Dia “terlihat” di dalam setiap sesuatu, termasuk di batu-batu.
Drama yang
sangat mengharukan adalah ketika sang haji berdiam diri atau setidaknya hadir
di Arafah sejak matahari tergelincir pada 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar 10
Dzulhijjah. Sang haji merenungi makna cinta di sana. Karena Arafah adalah
cahaya Ilahi sebagai percikan pertama dari cinta yang memancar dalam perjumpaah
antara Adam dan Hawa. Di Arafah Adam dan Hawa terdorong untuk saling memahami,
menerima, berkomitmen hingga melahirkan anak-cucunya. Arafah adalah keadaan
pikiran yang jauh dari penyimpangan dan penyakit. Betapa indah dan menakjubkan
Arafah, sebuah kesadaran yang lahir dari kesucian Cinta.
Drama
lainnya adalah sa’i, di mana pandangan-pandangan monoteistik lebih tampak lagi.
Ini adalah gerakan yang dilambangkan dengan berlari-lari atau bergegas sebagai
kesadaran historis akan keteladanan Hajar, seorang budak perempuan yang
diperistri Ibrahim, mondar-mandir mencari air untuk menghidupi anaknya, Ismail,
di suatu lembah yang tandus. Ketika sa’i, segala bentuk status, derajat, dan
perbedaan dihancurleburkan. Semua identitas melebur berperan sebagai Hajar sebagai
lambang kepasrahan dan kepatuhan.
Dan pada
akhirnya, puncak Ibadah haji adalah pengorbanan. Inilah fase terakhir dari
evolusi dan idealisme dengan kepasrahan mutlak yang berlangsung di Mina. Sang
haji berperan sebagai Ibrahim, sebagai simbol pengorbanan. Pengorbanan atas
segala sesuatu yang melemahkan iman, yang menahan untuk melakukan pengabdian,
yang membuat enggan memikul tanggung jawab, yang menyebabkan sikap egoistis, yang
membuat buta dan tuli, yang membuat tak bisa mendengar pesan dan mengakui kebenaran
dari Tuhan, yang memaksa untuk melarikan diri dari kebenaran, dan yang
menyebabkan berkilah demi kesenangan.
Drama
simbolik itu tak berhenti saat ibadah haji semata, tetapi setiap sang haji
harus terlibat secara genuine dalam problem yang dihadapi masyarakat.
Termasuk melaksanakan kebaikan, kesetiaan, dan membatasi diri dari berbagai
kesenangan hidup, menderita dalam penahanan, bertahan dari aniaya dunia dan
hadapi segala tantangan. Masing-masing mengajarkan manusia yang lain, menjadi
cahaya dalam kegelapan. Tujuan haji telah tercapai manakala si pelaku mampu
melaksanakan nilai-nilai ini dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan akan memelihara
sang haji sebagaimana Tuhan tidak membiarkan Ibrahim terbakar oleh api.
Sang haji kemudian
dapat kembali ke negerinya sebagai orang-orang yang mencapai puncak
keimanan. Mereka akan kembali ke negeri
dan desa masing-masing seperti sungai yang mengalir mengairi bumi.
Masing-masing membantu menumbuhkan beribu-ribu benih di masyarakat. Inilah
esensi haji, ia bukan sekedar tugas keagamaan, tetapi sebuah tujuan yang
melalui sang haji Tuhan memperbarui masyarakat.
Artikel ini pernah dimuat di Geotimes.co.id
0 comments:
Post a Comment