Beberapa hari lalu (Senin, 9 Maret
2015) rektor terpilih UIN Jakarta periode (2014-2019) Prof. Dr. Dede Rosyada
melantik hampir seluruh dekan fakultas serta direktur Sekolah Pascasarjana
baru.
Tercatat
dekan baru itu meliputi fakultas Tarbiyah, Adab, Syariah, Dirasat Islamiyah,
Ekonomi, Kedokteran dan direktur Sekolah Pasca Sarjana serta dekan baru wajah
lama meliputi fakultas Ushuluddin, Dakwah, Psikologi, Sains dan Teknologi. Lalu
menjadi pertanyaan, mengapa revolusi besar-besaran struktural jabatan kampus
dilakukan?
Fenomena baru ini membuat tanda tanya semua pihak sivitas
akademika UIN Jakarta, khususnya mahasiswa. Betapa tidak, setelah rektor
baru terpilih, tidak ada yang meduga akan ada perombakan jabatan struktural
kampus secara besar-besaran. Faktanya,
pada periode-periode sebelumnya tidak pernah rektor baru merombak dan melantik
para dekan secara serentak. Maka perlu pemahaman secara luas tentang
kebijakan-kebijakan rektor, agar seluruh sivitas akademika UIN Jakarta
mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Prerogratif
Rektor
Peraturan Menteri Agama (Permenag) No.
17 tahun 2014 tentang statuta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa
rektor mempunyai hak penuh dalam mengangkat dan memberhentikan perangkat pembantu rektor (warek, dekan dan
wadek). Peraturan baru itu juga yang
mengubah kewenangan para senat Universitas yang sebelumnya mempunyai hak untuk
mengangkat wakil rektor, dekan dan wakil dekan. Maka dampak kebijakan ini rektor
bukan sekedar organ yang menjalankan fungsi pengelolaan kampus, tapi juga
mempunyai hak prerogratif penuh dalam mengintervensi dan mengatur jabatan
struktural kampus.
Tentu kebijakan ini bisa kita asumsikan pada dua pendapat, positif
dan negatif. Dampak positifnya adalah pertama, kebijakan antara dekan
dan rektor sejalan, sehingga hambatan-hambatan dalam pandangan maupun kebijakan
kampus tidak akan terganjal oleh kebijakan para perangkat pimpinan kampus di
bawah rektor. Keselarasan dalam pandangan ini bisa
saja karena faktor kedekatan dan
keselarasan rektor dengan pimpinan pembantu rektor menjadi tombak sinergisitas
menuju visi besar UIN Jakarta.
Kedua, Peraturan tentang statuta UIN Jakarta
telah mengubah kewenangan senat dalam memilih rektor, dekan, warek, dan wadek. Fungsi
senat telah kembali, yakni pada penetapan dan pertimbangan pelaksanaan
kebijakan akademik. Tugas dan fungsi senat yang selama ini hanya sibuk
mengurusi jabatan struktural kampus dan hanya cenderung politis akan kembali
pada kebijakan-kebijakan maupun pertimbangan terhadap rektor dan para pejabat
kampus dalam bidang kebijakan akademik.
Adapun dampak
negatif peraturan baru ini adalah pertama, fakultas
tidak mandiri karena proses desentralisasi diubah menjadi sentral kekuasaan
rektor. Kemandirian fakultas akan terganjal oleh intervensi rektor. Apabila
kebijakan dekanat tidak selaras dengan rektorat, besar kemungkinan kebijakan
itu akan terganjal. Proses kemandirian itu akan lebih didikte oleh sentral
rektorat.
Kedua, rektor picu tindakan otoriter. Sistem
pemilihan langsung oleh rektor akan memicu tindakan semena-mena rektor.
Pemilihan akan bersifat subyektif karena rektor hanya akan memilih orang-orang
terdekatnya atau para pendukungnya. Sehingga kualitas intelektualitas,
pengalaman dan trek record calon pejabat kampus tidak lagi menjadi pertimbangan, melainkan hanya karna faktor
balas budi atas terpilihnya rektor baru. Kebijakan ini merupakan indikasi nyata
kemunduran demokrasi di kampus.
Politik Chemistry
Kebijakan baru ini juga akan memengaruhi
tradisi baru. Tentu saja ketika
kampus memiliki rektor baru, merupakan ancaman bagi
para dekan. Betapa tidak, mereka terancam dicopot dari jabatannya karna hak
prerogratif rektor memilih dan memberhentikan dekan.
Bahkan jabatan yang masih baru pun terancam dicopot. Hal ini telah terjadi.
Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum dicopot
jabatannya yang digantikan oleh Prof. Syukron Kamil, MA. Padahal dekan periode
2014-2018 itu belum genap menjabat satu tahun.
Sudah menjadi persepsi umum, bahwa dampak kebijakan ini adalah para
pejabat yang akan diangkat menjadi dekan ialah orang yang dekat, selaras,
sejalan, searah, baik dalam pemikiran maupun idealisme intelektual dengan
rektor. Inilah “politik chemistry” jabatan. Akan menjadi baik jiaka dapat memperlancar visi dan misi yang diusung rektor terpilih menuju UIN Jakarta yang lebih baik di masa
depan. Tapi akan menjadi ancaman jika yang dipilih justru hanya karena faktor
kedekatan. Apalagi jika pengangkatan pejabat kampus yang baru dapat menurunkan
kualitas kampus.
Harapan
Inilah dinamika perjalanan suatu kebijakan kampus. Dalam kebijakan baru ini ada pihak yang pro dan
kontra. Bagi yang pro, ini merupakan awal kemajuan revolusi struktural jabatan
yang selama ini hanya sibuk dengan politisasi jabatan kampus. Bagi yang kontra,
kebijakan ini merupakan kemunduran. Mereka yang kontra bukan tidak ingin menyuarakan aspirasi kekecewaannya dan
memprotes kebijakan ini. Namun dengan etika sopan selayaknya kita seluruh
sivitas akademika harus menjaga
legitimasi sebagai
seorang intelektual dan akademisi.
Tanggung jawab kita adalah mengedepankan etika yang ramah, bukan
dengan protes demonstrasi anarkisme. meskipun dalam perspektif psikologis
penulis sangat yakin ada keinginan memberontak yang besar dari para dosen,
mahasiswa dan seluruh perangkat kelembagaan kampus. Tak perlu orasi
berkoar-koar dengan microphone atau teriakan yang akan mewarnai suara-suara
gema kampus.
Jauh dari itu semua, kita hanya bisa berharap dengan adanya
kebijakan baru ini dapat meningkatkan kualitas UIN Jakarta, sebagaimana visi kampus menuju
World Class University. Bukan malah membawa kampus UIN Jakarta menurun dengan kualitas menjadi buruk, terbelakang, dan mengalami kemunduran. Karna kita tahu, di era kepemimpinan
sebelumnya kita telah memegang amanah sebagai kampus Islam terbaik di
Indonesia.
Pengangkatan para pejabat kampus yang baru tentu bukan hanya sebuah
revolusi struktural saja, tapi harus menjadi sebuah revolusi multi-kebijakan. Revolusi harus
dilaksanakan dalam bidang akademik, anggaran, dan kebijakan-kebijakan yang
dapat membawa UIN Jakarta menjadi muara perguruan tinggi Islam Indonesia,
bahkan dunia. Sebagai pemegang amanah tridarma perguruan tinggi, kita harus
tetap mengelola pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan
lebih baik. Jangan sampai sivitas akademika bertransformasi menjadi sivitas
politika.
Ahmad Hifni, Academic Mindset
0 comments:
Post a Comment