Loading...
Tuesday, August 2, 2016

PENGANTAR BUKU MENJADI KADER PMII





Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang sebagaian besar anggotanya merupakan pemuda Nahdliyin sudah memiliki usia yang tak lagi muda. Sejak pertama kali berdirinya 17 April 1960, PMII ikut berperan dalam sejarah kehidupan politik, sosial, budaya dan pendidikan di Indonesia. Sebagai komunitas mahasiswa, PMII menjadi bagian dari simpul-simpul gerakan mahasiswa yang mampu memberikan andil baik pemikiran maupun gerakan dalam pembangunan nasional. 

Dalam aspek historis, PMII lahir dan terbentuk hampir bersamaan dengan kemunculan organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda lain. Kehadirannya tak lain sebagai respon terhadap berbagai persoalan sosial politik, budaya dan hukum yang berkembang saat itu. Sebagai komunitas para intelektual muda Nahdliyin, PMII menjadi simpul dan sentral kekuatan NU yang mampu memecahkan persoalan-persoalan sosial politik dengan membaca dinamika dan kontradiksi sosial politik yang terjadi saat itu.

Di awal terbentuknya, PMII berhasil memainkan peran yang sangat penting di kalangan mahasiswa. PMII mulai menunjukkan gerakan-gerakan politik maupun sosial yang sangat cepat dan berpengaruh. Hal ini terbukti di usianya yang baru beranjak satu tahun, PMII sudah menjadi anggota forum pemuda sedunia di Moskow (Contituente Metting for the Youth Forum). Pada tahun-tahun selanjutnya PMII memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), berpartisipasi dalam pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), bergabung dengan kelompok Cipayung serta berbagai gerakan-gerakan berpengaruh lainnya. 

Pada wilayah pengembangan wilayah intelektual, PMII sebagai ormas mahasiswa yang berbasis kultural pesantren mampu membangun dan mewujudkan perangkat basis intelektual yang kuat. Para warga PMII mencurahkan perhatian keilmuannya pada tema-tema pokok sekitar liberasi, civil society, pluralisme dan literatur-literatur epistemologi filasafat modern. Baik teori wacana open societynya Karl Popper, sosialismenya Karl Marx, masyarakat komunikatifnya Habermas dan lain-lain dijadikan sebagai acuan diskusi di dalam forum-forum PMII.

Di bidang keislaman, PMII tidak menjadikan pemikiran-pemikiran para pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Rida, Yusuf al-Qordlowi sebagai landasan studi keagamaan, apalagi kitab-kitab salafi yang dijadikan tradisi keilmuan oleh kelompok-kelompok Wahabi. Akan tetapi, PMII menjadikan pemikiran-pemikiran liberasi penuh pembebasan seperti Muhammad Arkoun, al-Jabiri, Muhammad Thoha, dan Samir Amin sebagai acuan disukusi keislaman dengan tidak meninggalkan tradisi keilmuan pesantren yang menekankan aspek fikih dan tasawwuf. 

Begitu juga dalam kebangsaan. PMII senantiasa berkomitmen untuk menjadi komunitas yang nasionalis. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, PMII menjadi elemen penting dalam mengemban tanggung jawab berbangsa dan bernegara. Kecintaannya terhadap negara Indonesia membuat PMII tak ragu untuk menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, dan bukan Islam. Sehingga PMII tidak pernah memakasakan panji dan simbol keislaman pada wilayah kebangsaan dan struktur kekuasaan negara.

Menjadi kader PMII 
Dalam konteks saat ini, setidaknya ada empat alasan kenapa harus menjadi kader PMII, pertama, PMII merupakan organisasi mahasiswa yang sebagian besar mahasiswanya merupakan alumni pesantren. Kondisi kampus yang tidak mempunyai aturan-aturan semacam di pesantren membuat banyak dari mahasiswa alumni pesantren melepaskan kungkungan kultur kesantriannya. Dengan hadirnya PMII, maka tradisi pesantren di kampus akan tetap hidup, karena PMII selalu menjaga tradisi-tradisi keagamaan pesantren. Begitu juga dengan mahasiswa yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, akan memahami dan memperoleh ciri khas khazanah keilmuan pesantren di PMII.

Kedua, PMII merupakan organisasi yang terbuka, toleran dan moderat. Di tengah maraknya ideologi fundamentalisme dan radikalisme agama yang menyasar kalangan pemuda, PMII hadir sebagai organisasi moderat, toleran dan terbuka terhadap golongan yang berbeda. Komitmen keislaman dan keindonesiaan PMII merupakan perwujudan kesadaran beragama dan berbangsa. Atas dasar itu PMII berkomitmen dengan segala tekad dan kemampuannya untuk mempertahankan bangsa dan negara baik dari infiltrasi paham-paham kaum radikal maupun fundamental.

Ketiga, PMII merupakan organisasi independen, sehingga tidak mudah ditarik ke berbagai kepentingan politik. Di tengah maraknya “mahasiswa proyek” (sebuah istilah untuk mahasiswa yang suka memainkan proposal) yang cenderung pragmatis terhadap segala kegiatannya, justru PMII hadir untuk tidak terpengaruh oleh berbagai kepentingan. PMII tidak bisa digerakkan oleh kepentingan praktis manapun, karena PMII berpegang teguh pada nilai-nilai etika moral dan idealisme mahasiswa.

Keempat, PMII tetap mentradisikan mindset akademis. Di tengah redupnya tradisi intelektual mahasiswa, PMII tetap mentradisikan kajian di forum-forum akademis, baik yang terdapat di dalam kelompok-kelompok belajar maupun dalam kajian-kajian yang intens pada bidang tertentu seperti filsafat, budaya, sosial dan politik. Tentu ini menjadi penting bagi mahasiswa, karena dalam hal ini PMII hadir sebagai oase di tengah-tengah kekeringan intelektual mahasiswa. 

Dari alasan-alasan itulah menjadi Kader PMII sangat penting. Banyak persoalan yang harus dihadapi dengan mengedepankan kepentingan nasional (national interest). PMII hadir sebagai gerakan mahasiswa idealis yang tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau dua puluh tahun semata, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan sistem yang buruk, mempertahankan tradisi lokal budaya masyarakat Indonesia yang baik dan mengambil langkah yang lebih baik dari berbagai kemajuan di berbagai sektor yang berkembang mutakhir. Oleh karena itu, diusianya yang ke-56 ini PMII tetap hadir untuk menjadi tembok dari berbagai ancaman yang mengancam bangsa Indonesia menjadi lemah.

Pada selanjutnya, PMII akan tetap setia mewarnai sejarah panjang bangsa Indonesia. PMII akan tetap menjadi gerakan pemuda Nahdliyin yang mengemban misi intelektual dan berkewajiban serta bertanggung jawab mengemban komitmen keislaman dan keindonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

TENTANG BUKU INI
Buku ini ditulis kurang lebih selama dua bulan lamanya, tepatnya sejak 17 Februari 2016 sampai pertengah April 2016. Inisiatif untuk menulis buku ini berawal dari diskusi-diskusi kecil bersama teman-teman aktifis Ciputat baik di kedai-kedai kopi, kampus maupun di forum-forum kajian akademis. Mereka banyak memberi inspirasi bagi saya dengan berbagai gagasan, refleksi dan masukan. Tekad dan komitmen mereka terhadap keilmuan memberi saya semangat untuk menulis buku ini. 

Pada 17 April 2016 ini, PMII memasuki usianya yang ke 56. Dalam usianya yang tidak lagi muda ini, saya persembahkan buku ini khususnya untuk PMII, dan umumnya untuk khalayak umum yang ingin mengetahui dan memahami tentang PMII. Hal ini saya rasa penting, mengingat masih minim buku-buku tentang ke-PMII-an yang mewarnai literatur khazanah keilmuan Indonesia. Padahal PMII sebagai salah satu kekuatan  gerakan mahasiswa Indonesia, apalagi sebagian besar anggotanya merupakan warga Nahdliyin yang sejak dulu menjadi komunitas masyarakat muslim yang terbuka, toleran dan ramah terhadap perbedaan, sejatinya harus dikenal dan dijadikan inspirasi bagi mahasiswa dan khalayak umum. 

Dari inilah saya memberanikan diri dan berikhtiar untuk mendokumentasikan  berbagai refleksi, gagasan dan pemikiran saya tentang ke-PMII-an. Saya arahkan fokus buku ini pada perkembangan kondisi zaman mutakhir yang pada gilirannya diejawantahkan ke dalam sikap dan langkah yang harus diambil kader PMII untuk menjawab dan merespon isu-isu kontemporer, baik dalam ranah keagamaan, politik kebangsaan, dan sosial masyarakat. Di samping itu, buku ini juga membicarakan aspek historis dinamika perjalanan PMII semenjak kelahirannya sampai eksistensi keberadaannya di era ini. 

Buku ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama membahas PMII dalam dinamika sosio-historis, baik dalam ranah gerakan, intelektual dan kedinamisan organisasi. Bab kedua membahas perihal keislaman, terutama mengenai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai landasan teologis dan manhaj al-fikr PMII. Bab ini juga membahas bagaimana PMII menyikapi persoalan Sunni dan Syiah, terorisme, radikalisme, fundamentalisme serta isu-isu keagamaan yang berkembang mutakhir.

Bab ketiga membahas tentang komitmen kebangsaan PMII yang tercermin pada pilihannya untuk menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi. Bab ini akan menjelaskan jiwa nasionalisme PMII terutama pada rumusan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa. Bab keempat membahas tentang PMII dan keilmuan serta bagaimana seharusnya warga PMII sebagai intelektual yang pernah mengenyam pendidikan pesantren mengejewantahkan keilmuannya pada ruang akademis kampus.  

Bab kelima membahas tentang filosofi gerakan PMII dalam membaca dan menjawab persoalan-persoalan yang berkembang mutakhir. Bab ini akan membicarakan peran PMII di kalangan mahasiswa Indonesia, rumusan baru paradigma PMII, komitmen untuk menjadi organisasi yang tetap independen, liberasi pengkaderan, strategi pengembangan PMII di kampus, gerakan di media sosial serta merefleksikan kepemimpinan para kader PMII. 

UCAPAN TERIMA KASIH
Bagaimanapun juga buku ini hadir berkat dukungan dan inspirasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya haturkan terima kasih kepada mas Zuhairi Misrawi yang selalu mendorong dan memotivasi saya untuk selalu menulis. Begitu juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman aktivis Madrasah Qohwah (Ciputat Cultural Studies), Cak Syahrul Munir, Bang Hasyim Asy’ari, Junaidi Denay, Muzanni, Ridwan Hutagalung, Azwin Ramdhani, Fahmi Safuddin, dan lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu, yang selalu setia berdiskusi rutin tiap minggu tentang banyak hal, terutama dalam bidang budaya. 

Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman aktivis Moderate Muslim Society (MMS), Ulil Absor, Ari Rahman, Septa Nuril Fahmi, Hilda, Ulfah, Wahid, Khusnul, Rahmi dan teman-teman yang lain, yang tak kenal lelah dan sangat gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang ramah, terbuka, toleran sehingga menjadi rahmat untuk semesta alam. Begitu juga kepada mas Dinno Brasco saya ucapkan terima kasih atas segala motivasi dan inspirasinya dalam hal keteladanan di dunia akademis.

Ucapan terima kasih saya haturkan juga kepada para aktivis PMII Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Komfaka), baik kepada para senior, para dosen maupun adik-adik yang sedang asyik berorganisasi dan mengembangkan intelektualitasnya dalam organisasi ini, sebuah organisasi di mana saya juga pernah mengolah diri, mengeksplorasi pengetahuan dan mengembangkan jiwa intelektual saya melalui pembelajaran dan pengalaman yang sangat berharga. 

Tak lupa ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman aktivis PB PMII, PMII Ciputat, HMI Ciputat, IMM Ciputat, serta organisasi primordial lainnya maupun kelompok-kelompok diskusi akademis di Ciputat yang berkenan untuk berdiskusi dan memberi masukan yang berharga kepada saya. Khususnya saya ucapkan terima kasih banyak kepada Syarifaeni Fahdiah selaku Ketua Umum Korps HMI-Wati (KOHATI) Cabang Ciputat yang senantiasi berkenan meluangkan banyak waktunya untuk berdiskusi dan bertukar gagasan mengenai problematika sosial di kalangan mahasiswa yang berkembang mutakhir. 

Di atas segalanya saya sadar, bahwa buku yang berjudul “Menjadi Kader PMII” ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sebagai sebuah buku yang sederhana, kesalahan maupun kekhilafan susunan bahasa, kalimat, konten, data dan analisis mungkin ditemukan, karena itu kritik, saran dan masukan yang membangun sangat saya harapkan dari para pembaca. 

Semoga buku ini bisa melengkapi wacana dan literatur tentang ke-PMII-an serta bisa menjadi spirit bagi mahasiswa untuk menjadi kader PMII di masa kini dan yang akan datang. 

Selamat Harlah PMII yang ke-56
Tangan Terkepal dan Maju Kemuka


Ciputat, 17 April 2016
Ahmad Hifni

1 comments:

 
TOP