Barangkali,
perbincangan dan perdebatan panas masyarakat Indonesia hari ini adalah soal
Pilkada DKI Jakarta. Seakan tidak sah kalau tidak ikut berkomentar. Benar-benar
mempesona dan memikat sejumlah kalangan, bahkan di berbagai penjuru luar
Jakarta.
Masing-masing
tim kampanye saling serang, dimulai dari kasus surat al-Maidah, dinasti
politik, mapun sikap masa lalu yang kurang baik. Media sosial dimanfaatkan untuk
memperkuat citra ataupun menjatuhkan citra pesaingnya. Dunia media sosial
menjadi gelombang yang efektif untuk menaikkan dan menurunkan citra calon. Ia
ibarat pasukan perang yang menyerang dengan agresif dan ofensif.
Pertarungan ini
sampai pada titik yang membentur akal sehat, mengubur hati nurani dalam ruang
pertarungan pragmatisme politik. Meminjam Nietzsche dalam Zarathustra,
bahwa Pilkada DKI Jakarta adalah will to power dengan “mati-matian” masing-masing
tim untuk memenangkan kontestasi politik. Pada titik inilah, kita dihadapkan sebuah
realitas yang menuntut untuk menjadi masyarakat yang cerdas dalam persoalan yang
serius.
Kebencian
Dalam media
sosial, masyarakat sangat mudah diprovokasi dengan mengabaikan faktualitas data
yang sangat sulit memverifikasi kebenarannya. Fakta tidak dianggap penting,
karena yang utama menyentuh perasaan, apalagi dengan menyeret agama, maka yang dibangun
adalah data-data yang membentuk konstruksi prasangka. Menurut Ibnu Khaldun
dalam Mukaddimah, masyarakat memang dengan mudah tersinggung karena
agama dan kesukuannya, apalagi yang seakan-akan dilecehkan.
Pertanyaan yang
perlu direnungkan adalah apakah gelombang perbincangan dan perdebatan pilkada
DKI Jakarta yang berkembang dengan cepat ini merupakan bentuk kecintaan masyarakat
terhadap Ibu Kota tercinta, atau bentuk keberhasilan para tim calon mengkonstruksi
pola pikir masyarakat dengan sebuah kebodohan? Paling tidak dampak dari ini
semua adalah demokrasi kita menjadi sobek dan tak bermatabat oleh perdebatan
kotor para tim kampanye, masyarakat, haters, mahasiswa, bahkan para
akademisi.
Sangat disayangkan,
jika model kampanye tidak menggunakan jalan sehat dengan proses dialog, adu
visi-misi dan strategi yang kreatif, melainkan melakukan benturan politik
dengan cara-cara yang “dimasak” melalui “bumbu” agama, politik dinasti dan
kebencian. Sehingga sudah tidak ada keteduhan dalam media sosial, yang ada
hanyalah intimidasi, saling sikut, perdebatan yang kotor dan berbagai fitnah.
Pencetus
kebencian ini benar-benar lihai memainkan asumsi-asumsi yang mengkonstruksi
pikiran masyarakat terhadap calon. Akhirnya, Media sosial menjadi sumber pembodohan,
masyarakat diadu domba tidak hanya oleh para haters masing-masing tim,
namun juga oleh intelektual dan cendekiawan yang masing-masing membela secara
fanatik, calon pilihannya.
Sikap
seharusnya
Di atas
semua ini, kita mesti menjadi pemilih cerdas dengan mengedepankan
rasionalitas, bukan taklid buta tanpa pertimbangan. Kita mesti terlibat
membangun demokrasi yang sehat dengan mengedepankan sikap yang santun, saling
menghormati dan menghargai antara calon yang satu dengan yang lain. Persaingan
harus mengedepankan prinsip kontestasi yang wajar dengan menjalankan secara
manusiawi dan didasarkan atas sikap kritis dengan basis data yang akurat.
Dalam prinsip
demokrasi, keberpihakan terhadap salah satu kandidat adalah suatu hal yang
wajar, begitu juga perbedaan politik adalah sah, namun menggunakan kampanye
hitam yang fanatik apalagi dalil agama sebagai alat kampanye politik sungguh
perbuatan yang tidak dibenarkan. Fanatisme terhadap salah satu calon akan dipertaruhkan
dengan retaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Membela
dengan fanatisme buta calon manapun dan siapapun, tidak sedikitpun
menguntungkan demokrasi. Demokrasi kita akan mapan jika penalaran publik
mengarah pada program dan rekam jejak. Dengan demikian demokrasi akan dibangun
melalui rasionalitas dan pikiran yang jernih. Ini adalah bagian dari sikap melawan
kekerasan dan kepicikan di dalam iklim pragmatisme politik nasional.
Kita mesti
menjadi pemilih rasional yang fokus pada program, kinerja dan rekam jejak
calon. Dan tidak menjadi pemilih emosional yang terbelenggun fanatisme
primordial baik terkait ras, etnik maupun agama. Kita mesti tidak membiarkan
emosi diaduk-aduk oleh mereka yang tidak memiliki argumen rasional yang lebih
baik. Kita seharusnya tidak tergoda dengan retorika yang membenturkan antara
Islam dan non-Islam.
Saat ini, kehadiran
orang-orang yang berpikir jernih untuk menjaga keutuhan bangsa dan kesaktian Pancasila
sangat dibutuhkan gerakannya. Sudah saatnya kita berpuasa dari viral-viral
kebencian dalam media sosial. Kita terlahir bukan untuk kebencian, tetapi
dengan cinta yang datang secara alami yang tertanam dalam diri manusia. Dengannya,
kehidupan akan teduh, damai dan indah dan kebencianlah yang memporak-porandakannya.
0 comments:
Post a Comment