Loading...
Thursday, October 13, 2016

MENJERNIHKAN PIKIRAN DI MEDIA SOSIAL



Barangkali, perbincangan dan perdebatan panas masyarakat Indonesia hari ini adalah soal Pilkada DKI Jakarta. Seakan tidak sah kalau tidak ikut berkomentar. Benar-benar mempesona dan memikat sejumlah kalangan, bahkan di berbagai penjuru luar Jakarta.

Masing-masing tim kampanye saling serang, dimulai dari kasus surat al-Maidah, dinasti politik, mapun sikap masa lalu yang kurang baik. Media sosial dimanfaatkan untuk memperkuat citra ataupun menjatuhkan citra pesaingnya. Dunia media sosial menjadi gelombang yang efektif untuk menaikkan dan menurunkan citra calon. Ia ibarat pasukan perang yang menyerang dengan agresif dan ofensif. 

Pertarungan ini sampai pada titik yang membentur akal sehat, mengubur hati nurani dalam ruang pertarungan pragmatisme politik. Meminjam Nietzsche dalam Zarathustra, bahwa Pilkada DKI Jakarta adalah will to power dengan “mati-matian” masing-masing tim untuk memenangkan kontestasi politik. Pada titik inilah, kita dihadapkan sebuah realitas yang menuntut untuk menjadi masyarakat yang cerdas dalam persoalan yang serius. 

Kebencian
Dalam media sosial, masyarakat sangat mudah diprovokasi dengan mengabaikan faktualitas data yang sangat sulit memverifikasi kebenarannya. Fakta tidak dianggap penting, karena yang utama menyentuh perasaan, apalagi dengan menyeret agama, maka yang dibangun adalah data-data yang membentuk konstruksi prasangka. Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, masyarakat memang dengan mudah tersinggung karena agama dan kesukuannya, apalagi yang seakan-akan dilecehkan.

Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah apakah gelombang perbincangan dan perdebatan pilkada DKI Jakarta yang berkembang dengan cepat ini merupakan bentuk kecintaan masyarakat terhadap Ibu Kota tercinta, atau bentuk keberhasilan para tim calon mengkonstruksi pola pikir masyarakat dengan sebuah kebodohan? Paling tidak dampak dari ini semua adalah demokrasi kita menjadi sobek dan tak bermatabat oleh perdebatan kotor para tim kampanye, masyarakat, haters, mahasiswa, bahkan para akademisi. 

Sangat disayangkan, jika model kampanye tidak menggunakan jalan sehat dengan proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif, melainkan melakukan benturan politik dengan cara-cara yang “dimasak” melalui “bumbu” agama, politik dinasti dan kebencian. Sehingga sudah tidak ada keteduhan dalam media sosial, yang ada hanyalah intimidasi, saling sikut, perdebatan yang kotor dan berbagai fitnah. 

Pencetus kebencian ini benar-benar lihai memainkan asumsi-asumsi yang mengkonstruksi pikiran masyarakat terhadap calon. Akhirnya, Media sosial menjadi sumber pembodohan, masyarakat diadu domba tidak hanya oleh para haters masing-masing tim, namun juga oleh intelektual dan cendekiawan yang masing-masing membela secara fanatik, calon pilihannya.

Sikap seharusnya
Di atas semua ini, kita mesti menjadi pemilih cerdas dengan mengedepankan rasionalitas, bukan taklid buta tanpa pertimbangan. Kita mesti terlibat membangun demokrasi yang sehat dengan mengedepankan sikap yang santun, saling menghormati dan menghargai antara calon yang satu dengan yang lain. Persaingan harus mengedepankan prinsip kontestasi yang wajar dengan menjalankan secara manusiawi dan didasarkan atas sikap kritis dengan basis data yang akurat.

Dalam prinsip demokrasi, keberpihakan terhadap salah satu kandidat adalah suatu hal yang wajar, begitu juga perbedaan politik adalah sah, namun menggunakan kampanye hitam yang fanatik apalagi dalil agama sebagai alat kampanye politik sungguh perbuatan yang tidak dibenarkan. Fanatisme terhadap salah satu calon akan dipertaruhkan dengan retaknya kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Membela dengan fanatisme buta calon manapun dan siapapun, tidak sedikitpun menguntungkan demokrasi. Demokrasi kita akan mapan jika penalaran publik mengarah pada program dan rekam jejak. Dengan demikian demokrasi akan dibangun melalui rasionalitas dan pikiran yang jernih. Ini adalah bagian dari sikap melawan kekerasan dan kepicikan di dalam iklim pragmatisme politik nasional. 

Kita mesti menjadi pemilih rasional yang fokus pada program, kinerja dan rekam jejak calon. Dan tidak menjadi pemilih emosional yang terbelenggun fanatisme primordial baik terkait ras, etnik maupun agama. Kita mesti tidak membiarkan emosi diaduk-aduk oleh mereka yang tidak memiliki argumen rasional yang lebih baik. Kita seharusnya tidak tergoda dengan retorika yang membenturkan antara Islam dan non-Islam. 

Saat ini, kehadiran orang-orang yang berpikir jernih untuk menjaga keutuhan bangsa dan kesaktian Pancasila sangat dibutuhkan gerakannya. Sudah saatnya kita berpuasa dari viral-viral kebencian dalam media sosial. Kita terlahir bukan untuk kebencian, tetapi dengan cinta yang datang secara alami yang tertanam dalam diri manusia. Dengannya, kehidupan akan teduh, damai dan indah dan kebencianlah yang memporak-porandakannya.

0 comments:

Post a Comment

 
TOP