Saat membuka Piala Presiden 2015 di Stadion
Kapten I Wayan Dipta, Gianyar Bali, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa
pembenahan total sepak bola nasional merupakan pilihan yang harus diambil untuk
membangun prestasi masa depan (kompas 31/8).
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan
bentuk ketegasan bahwa reformasi total sepak bola nasional adalah sebuah
keharusan. Oleh karena prestasi sepak bola sebuah negara merupakan aset besar
yang bisa mengangkat kebanggaan dan rasa nasionalisme masyarakat terhadap
bangsanya.
Jauh dari harapan
Sayangnya, prestasi sepak bola Indonesia
masih jauh dari harapan. Buktinya, Saat ini Indonesia berada di urutan rendah peringkat
sepak bola negara-negara ASEAN. Berdasarkan data yang dirilis FIFA pada tanggal
2 september 2015, Indonesia berada di peringkat (165), jauh tertinggal di bawah
Filipina (125), Vietnam (152), Thailand (137), Singapura (157), Myanmar (162) bahkan
tertinggal dari Timur Leste (163).
Keadaan ini semakin diperparah dengan
maraknya kecurangan di dalam sepak bola nasional seperti judi bola melalui
pengaturan skor akhir pertandingan, permainan terkait transfer pemain, suap
perangkat pertandingan yang meliputi wasit, badan pengawas pertandingan, suap
tuan rumah kompetisi, atau pemilihan ketua federasi sepak bola dan perangkat di
bawahnya.
Lebih parahnya, saat ini federasi sepak bola
Indonesia dibekukan oleh Kemenpora dan semua aktivitasnya tidak diakui.
Pembekuan ini bermula ketika Kemenpora mengirim surat teguran kepada PSSI untuk
memerintahkan PT Arema Indonesia (Arema Cronus) dan PT Mitra Inti Berlian
(Persebaya) untuk segera melaksanakan rekomendasi BOPI. Rekomendasi BOPI
tersebut adalah kesepakatan untuk menyanggupi penyelesaian masalah dualisme
kepemilikan Persebaya dan Arema hingga putaran pertama berakhir. Namun, hingga
tiga kali surat teguran tersebut dilayangkan, tidak sedikitpun rekomendasi itu
diindahkan.
Pembekuan PSSI oleh pemerintah tersebut
dianggap sebagai sebuah intervensi yang kemudian FIFA memberi sanki terhadap
PSSI larangan tampil dalam pertandingan sepak bola di internasional.
Keadaan ini mengingatkan kita pada beberapa
negara yang pernah disanksi oleh FIFA akibat alasan serupa Indonesia. Dalih
terbanyak dari hukuman tersebut adalah intervensi pemerintah dan atau menyalahi
statuta FIFA. Negara-negara tersebut adalah Nigeria, yang disanksi oleh FIFA
selama sembilan hari (9-18 Juli 2014). Bermula ketika Kementerian Olahraga
Nigeria memecat Komite Eksekutif NFF (Nigeria Football Federation). Peru, disanksi
kurang dari satu bulan (25 November-20 Desember 2008). Sanksi FIFA terhadap
Peru disebabkan karna pemerintah Peru tak mengakui Presiden FPF (Federacion
Peruana de Futbol).
Brunei Darussalam, disanksi selama tiga tahun
(05 Oktober 2008-30 Mei 2011). Sanksi FIFA terhadap Brunei disebabkan oleh
pemerintah Brunei yang membubarkan federasi sepak bola Brunei yang terdaftar di
FIFA yaitu BAFA (Brunei Darussalam
Football Association) dan menggantinya dengan federasi yang baru.
Bosnia, disanksi selama dua bulan (1 April 2011-30 Mei 2011) Bosnia dilarang
tampil dalam kompetensi internasional setelah federasi sepak bola mereka NFSBIH
(Football Federation of Bosnia and Herzegovina) tidak mau mengadopsi statuta
baru sesuai aturan FIFA dan UEFA.
Kamerun, 11 Hari (11 Juli-22 Juli 2013) federasi sepak bola Kamerun
FECAFOOT (Federation Camerounaise de Football) dibekukan karena pemerintah
dinilai melakukan intervensi. Sedangkan beberapa negara lain yang juga disanksi
FIFA karena alasan-alasan serupa adalah Iran (1Bulan), Ethiopia (10 bulan),
Yunani (3 Hari), dan Irak (4 Bulan).
Negara-negara di atas yang pernah disanksi oleh
FIFA kini sudah bangkit dan mampu menjadi negara yang bisa mengelola federasi sepak
bola nasional mereka dengan baik. Oleh karena itu, semestinya Indonesia juga
harus bangkit sebagaimana negara-negara yang mengalami serupa Indonesia dan
mampu mereformasi tata kelola sepak bola yang lebih baik.
Sebuah usaha
Kini, sebuah usaha perbaikan tata kelola
sepak bola nasional telah dilakukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi
dengan membentuk Tim Transisi. Perbaikan tata kelola sepak bola ini merupakan
hal mendesak yang harus dilakukan, mengingat prestasi sepak bola Indonesia
semakin sulit untuk mengejar laju percepatan peningkatan prestasi di tingkat
internasional. Tim Transisi dibentuk dengan harapan meningkatkan
profesionalisme di dalam penanganan dan pembinaan sepak bola Indonesia.
Sebagian kalangan menolak Tim Transisi dan sebagian
yang lain menerima. Yang menolak beranggapan bahwa pembentukan Tim Transisi
adalah intervensi pemerintah. Dengan demikian pemerintah telah melanggar
statuta FIFA bahwa negara tidak boleh mengintervensi federasi di bawah naungan
FIFA. Yang menerima beranggapan bahwa PSSI dianggap sebagai mafia dengan
banyaknya kasus pengaturan skor, keterlambatan gaji pemain dan sisi negatif
lain, maka reformasi sepak bola merupakan keharusan.
Terlepas dari pro dan kontra ini, tak
sepatutnya kita terjerumus pada persoalan ini dan saling menyalahkan. Tim Transisi
sudah dibentuk dan menjadi acting PSSI. Saat ini sedang menggelar turnamen dan
mensupervisi Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden. Dengan begitu, atas
kekurangan dan kelebihannya kita patut optimis menuju kemajuan sepak bola
Indonesia. Apa yang akan dilakukan oleh Menpora adalah iktikad baik menuju
pembenahan tata kelola sepak bola Indonesia.
Memang fenomena ini menjadi tantangan bagi
kita semua. Semua menerima dampak sanksi FIFA. Pemaian, pelatih, suporter,
industri media, dan seluruh stakeholder sepak bola bersama-sama merasakan
dampak carut marut sepak bola nasional. Tetapi benar apa yang disampaikan
presiden Jokowi bahwa semua pihak harus menerima pil pahit ini demi terciptanya
prestasi sepak bola nasional yang lebih baik di masa depan.
Ahmad Hifni
(Penggemar
Sepak Bola Indonesia)
0 comments:
Post a Comment