Loading...
Wednesday, September 16, 2015

Menuju Prestasi Sepak Bola Nasional




Saat membuka Piala Presiden 2015 di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar Bali, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pembenahan total sepak bola nasional merupakan pilihan yang harus diambil untuk membangun prestasi masa depan (kompas 31/8).
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan bentuk ketegasan bahwa reformasi total sepak bola nasional adalah sebuah keharusan. Oleh karena prestasi sepak bola sebuah negara merupakan aset besar yang bisa mengangkat kebanggaan dan rasa nasionalisme masyarakat terhadap bangsanya.
Jauh dari harapan
Sayangnya, prestasi sepak bola Indonesia masih jauh dari harapan. Buktinya, Saat ini Indonesia berada di urutan rendah peringkat sepak bola negara-negara ASEAN. Berdasarkan data yang dirilis FIFA pada tanggal 2 september 2015, Indonesia berada di peringkat (165), jauh tertinggal di bawah Filipina (125), Vietnam (152), Thailand (137), Singapura (157), Myanmar (162) bahkan tertinggal dari Timur Leste (163).
Keadaan ini semakin diperparah dengan maraknya kecurangan di dalam sepak bola nasional seperti judi bola melalui pengaturan skor akhir pertandingan, permainan terkait transfer pemain, suap perangkat pertandingan yang meliputi wasit, badan pengawas pertandingan, suap tuan rumah kompetisi, atau pemilihan ketua federasi sepak bola dan perangkat di bawahnya.
Lebih parahnya, saat ini federasi sepak bola Indonesia dibekukan oleh Kemenpora dan semua aktivitasnya tidak diakui. Pembekuan ini bermula ketika Kemenpora mengirim surat teguran kepada PSSI untuk memerintahkan PT Arema Indonesia (Arema Cronus) dan PT Mitra Inti Berlian (Persebaya) untuk segera melaksanakan rekomendasi BOPI. Rekomendasi BOPI tersebut adalah kesepakatan untuk menyanggupi penyelesaian masalah dualisme kepemilikan Persebaya dan Arema hingga putaran pertama berakhir. Namun, hingga tiga kali surat teguran tersebut dilayangkan, tidak sedikitpun rekomendasi itu diindahkan.
Pembekuan PSSI oleh pemerintah tersebut dianggap sebagai sebuah intervensi yang kemudian FIFA memberi sanki terhadap PSSI larangan tampil dalam pertandingan sepak bola di internasional.
Keadaan ini mengingatkan kita pada beberapa negara yang pernah disanksi oleh FIFA akibat alasan serupa Indonesia. Dalih terbanyak dari hukuman tersebut adalah intervensi pemerintah dan atau menyalahi statuta FIFA. Negara-negara tersebut adalah Nigeria, yang disanksi oleh FIFA selama sembilan hari (9-18 Juli 2014). Bermula ketika Kementerian Olahraga Nigeria memecat Komite Eksekutif NFF (Nigeria Football Federation). Peru, disanksi kurang dari satu bulan (25 November-20 Desember 2008). Sanksi FIFA terhadap Peru disebabkan karna pemerintah Peru tak mengakui Presiden FPF (Federacion Peruana de Futbol).
Brunei Darussalam, disanksi selama tiga tahun (05 Oktober 2008-30 Mei 2011). Sanksi FIFA terhadap Brunei disebabkan oleh pemerintah Brunei yang membubarkan federasi sepak bola Brunei yang terdaftar di FIFA yaitu BAFA (Brunei Darussalam  Football Association) dan menggantinya dengan federasi yang baru.
Bosnia, disanksi selama dua bulan  (1 April 2011-30 Mei 2011) Bosnia dilarang tampil dalam kompetensi internasional setelah federasi sepak bola mereka NFSBIH (Football Federation of Bosnia and Herzegovina) tidak mau mengadopsi statuta baru sesuai aturan FIFA dan UEFA.  Kamerun, 11 Hari (11 Juli-22 Juli 2013) federasi sepak bola Kamerun FECAFOOT (Federation Camerounaise de Football) dibekukan karena pemerintah dinilai melakukan intervensi. Sedangkan beberapa negara lain yang juga disanksi FIFA karena alasan-alasan serupa adalah Iran (1Bulan), Ethiopia (10 bulan), Yunani (3 Hari), dan Irak (4 Bulan).
Negara-negara di atas yang pernah disanksi oleh FIFA kini sudah bangkit dan mampu menjadi negara yang bisa mengelola federasi sepak bola nasional mereka dengan baik. Oleh karena itu, semestinya Indonesia juga harus bangkit sebagaimana negara-negara yang mengalami serupa Indonesia dan mampu mereformasi tata kelola sepak bola yang lebih baik.
Sebuah usaha
Kini, sebuah usaha perbaikan tata kelola sepak bola nasional telah dilakukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi dengan membentuk Tim Transisi. Perbaikan tata kelola sepak bola ini merupakan hal mendesak yang harus dilakukan, mengingat prestasi sepak bola Indonesia semakin sulit untuk mengejar laju percepatan peningkatan prestasi di tingkat internasional. Tim Transisi dibentuk dengan harapan meningkatkan profesionalisme di dalam penanganan dan pembinaan sepak bola Indonesia.
Sebagian kalangan menolak Tim Transisi dan sebagian yang lain menerima. Yang menolak beranggapan bahwa pembentukan Tim Transisi adalah intervensi pemerintah. Dengan demikian pemerintah telah melanggar statuta FIFA bahwa negara tidak boleh mengintervensi federasi di bawah naungan FIFA. Yang menerima beranggapan bahwa PSSI dianggap sebagai mafia dengan banyaknya kasus pengaturan skor, keterlambatan gaji pemain dan sisi negatif lain, maka reformasi sepak bola merupakan keharusan.
Terlepas dari pro dan kontra ini, tak sepatutnya kita terjerumus pada persoalan ini dan saling menyalahkan. Tim Transisi sudah dibentuk dan menjadi acting PSSI. Saat ini sedang menggelar turnamen dan mensupervisi Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden. Dengan begitu, atas kekurangan dan kelebihannya kita patut optimis menuju kemajuan sepak bola Indonesia. Apa yang akan dilakukan oleh Menpora adalah iktikad baik menuju pembenahan tata kelola sepak bola Indonesia.
Memang fenomena ini menjadi tantangan bagi kita semua. Semua menerima dampak sanksi FIFA. Pemaian, pelatih, suporter, industri media, dan seluruh stakeholder sepak bola bersama-sama merasakan dampak carut marut sepak bola nasional. Tetapi benar apa yang disampaikan presiden Jokowi bahwa semua pihak harus menerima pil pahit ini demi terciptanya prestasi sepak bola nasional yang lebih baik di masa depan.

Ahmad Hifni
(Penggemar Sepak Bola Indonesia)

0 comments:

Post a Comment

 
TOP