Setiap
Pemilihan Umum (PEMILU), Parpol Islam berusaha menunjukkan eksistensinya. Hal
ini wajar, sebab Indonesia merupakan negara demokratis dimana parpol Islam
berhak mengikuti kontestasi perpolitikan Indonesia.
Pada
masa penjajahan Belanda, organisasi Islam yang bergerak dalam bidang politik
telah ada. Namun untuk menamakan organisasi-organisasi itu sebagai partai politik
masih kurang tepat, sebab negara Indonesia belum merdeka.
Islam menjadi elemen pemersatu bagi
masyarakat Indonesia. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1911, Sarekat
Islam (SI) tahun 1912, membuktikan bahwa masyarakat dapat bersatu dengan satu
naungan yakni Islam.
Pada
tanggal 3 Oktober 1945, tak lama setelah Indonesia merdeka, pemerintah
mendorong masyarakat Indonesia untuk mendirikan partai politik. Hal ini
dimungkinkan untuk mendapatkan penyaluran dan dipimpin ke jalan yang teratur. Dengan
demikian, umat Islam mengorganisasikan kekuatannya dalam sebuah wadah partai politik.
Dalam
ranah politik, ternyata kalangan muslim tidak dapat disatukan dalam satu wadah
parpol. Kelompok Islam modernis dan tradisionalis rupanya memiliki naungan sendiri
dalam menampung aspirasinya.
Pada
perjalannya, Masyumi, Perti, Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), Nahdlatul
Ulama’ (NU), turut mewarnai parpol Islam di era Orde Lama. Di masa selanjutnya
(Orde Baru), NU dan Parmusi (mantan partai Masyumi) masih terus turut serta dalam kontestasi
perpolitikan di Indonesia. Kedudukan kedua parpol inilah yang dianggap mewakili
sayap Islam tradisional dan modern yang sebelumnya mengalami sebuah keretakan.
Banyaknya
parpol dalam dunia politik, membuat pemerintah di masa Orde Baru merekonstruksi dunia perpolitikan. Negara
memandang perlu meneruskan pengendalian partai politik (parpol) melalui
penyederhanaan jumlah parpol yang ada.
Penyederhanaan
dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan
pemilu menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, adalah kelompok nasionalis yang diwakili oleh PDI (Partai Demokrasi
Indonesia), yang merupakan gabungan dari (PKI, PNI, Murba, Parkindo, dan Partai
Katolik). Kelompok kedua, adalah kelompok spiritual yang diwakili oleh PPP
(Partai Persatuan Pembangunan), yang merupakan gabungan dari (NU, PARMUSI,
PSII, dan PERTI). Dan kelompok ketiga, adalah kelompok karya yang diwakili oleh
Partai Golkar (Golongan Karya).
Pada
masa selanjutnya, perkembangan politik di Indonesia mengalami sebuah
transformasi besar. Reformasi tahun 1998,
seakan membebaskan belenggu yang memenjarakan partai politik. Disinilah
kemudian berkiprahnya kembali partai-partai
berbasis Islam. parpol berbasis Islam yang disederhanakan menjadi satu parpol
yakni PPP, kini telah kembali pecah dan kembali menghadirkan identitasnya dalam
era Demokrasi.
Di
era Reformasi, parpol Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan.
Pertama, partai yang berasaskan Islam, antara lain adalah PPP, PK (berubah
menjadi PKS), PBB, PNU (berubah menjadi PPNUI). Kedua, partai yang tidak mencantumkan
Islam sebagai asasnya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam, antara lain
adalah PKB dan PAN.
Selanjutnya,
parpol Islam tidak hanya mampu mawarnai kancah perpolitikan di Indonesia. terbukti
Pada tahun 1999 diawal era Reformasi, Indonesia pernah dipimpin oleh pemimpin gerakan parpol Islam. Ialah Abdurrahman
Wahid ( Gus Dur) yang mampu duduk dalam jabatan Presiden Republik Indonesia.
Meskipun dalam perjalanannya tak lama memimpin Indonesia, namun Hal ini mencatat
sejarah baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Koherensi Agama-Politik demokratis
Posisi agama dalam kehidupan
negara—sosial, ekonomi maupun politik sangat penting. Memisahkan antara agama dengan negara hampir
tidak mungkin. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menyatukan antara Islam dan
negara, melainkan menekankan betapa mustahilnya kehidupan keduniaan dilepaskan
terhadap pengaruh agama.
Doktrin dan praktik politik Islam
menemukan kesesuaian antara Islam dan politik demokrasi. Dalam sejarahnya, Nabi
Muhammad menyelenggarakan pemerintahan di Madinah yang bersifat egaliter dan
partisipatif. Adanya komitmen, keterlibatan, dan partisipasi dari seluruh
komunitas politik di Madinah membuktikan bahwa pemerintahan seperti itu
sebanding dengan kehidupan politik demokratis. Di sinilah doktrin tentang
musyawarah atau negosiasi (Syura), keadilan (al-‘adl), dan
egaliteranisme (al-Musawah) terealisasikan di dalam praktik politik awal
Islam.
Di dalam hubungannya antara Islam
dan politik atau Islam dan negara, maka al-Qur’an hanya sekedar memberikan
wawasan, bukan konsep tentang masyarakat, politik, atau negara secara detail.
Para intelektual dan aktivis muslim yang akan merumuskannya sesuai dengan
keadaan lingkungan di mana mereka berada. Untuk itu, struktur sistem
masyarakat, politik, maupun negara di suatu kawasan, sudah pasti menjadi
persoalan-persoalan yang berbeda antara dunia Islam yang lainnya.
Sesungguhnya telah jelas bahwa
ajaran-ajaran Islam bersesuaian dengan prinsip politik demokratis. Sejauh
ajaran dan prinsip Islam tentang sosial kemasyarakat dikemukakan secara
substansialistik, dan bukan legalistik-formalistik, maka koherensi antara Islam
dan negara atau Islam dan demokrasi akan sangat nampak jelas.
Telah jelas bahwa agama merupakan
instrumen Ilahiah untuk memahami dunia. Manusia memerlukan pegangan dalam
menjalani kehidupan dunia. Dalam hal ini, Islam tidak mengalami kesulitan dalam
mencari koherensi antara Islam dan negara. Alasannya adalah Islam berada
dimana-mana (omnipresence). Dimanapun Islam berada maka akan dijadikan
petunjuk bagi perbuatan mereka. Inilah suatu konsekuensi, Tuhan serba hadir di
setiap aspek dan praktik di setiap kehidupan muslim. Islam memberikan panduan (etis)
bagi seluruh aspek kehidupan.
Munculnya
kembali partai-partai politik Islam tentunya menjadi angin segar untuk
mempererat keharmonisasian Islam dan negara. Pada masa Orde Baru, parpol Islam
tidak banyak memberi pergerakan yang berarti. Sebab, rezim orde baru memberikan
pengawasan yang ekstra ketat terhadap pergerakan partai politik Islam
Adanya partai-partai Islam dalam
ruang publik dan perpolitikan Indonesia saat ini, merefleksikan ketahanan
identitas Islam berhadapan dengan identitas nasional (Sekuler). Meskipun mereka
tidak menuntut dan mempersoalkan tentang negara demokratis, Namun mereka enggan
untuk kehilangan eksistensinya dengan figur dan identitas Islam.
Untuk itu, dalam dinamika
perpolitikan di Indonesia, yang dalam kontestasinya selalu terdapat Parpol
Islam, sangat menarik perhatian berbagai kalangan. Hal ini bukan hal yang biasa,
karena pada realitanya kehadiran parpol Islam di kancah perpolitikan nasional
tidak hanya menjadi penggembira semata, tetapi justru menjadi pendulang
aspirasi masyarakat yang patut diperhitungkan.
Pada kesimpulannya, politik di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Islam. Komunitas Islam (Parpol Islam) sendiri
tidak mungkin melepaskan kegiatan politik mereka kosong dari pengaruh agama.
Antara Islam dan politik, keduanya dapat berhubungan melalui pola substansial
atau dekonfesionalisme yaitu suatu kecenderungan yang lebih berorientasi pada
makna dan isi.
0 comments:
Post a Comment