Bencana alam sering terjadi di
Indonesia. Semuanya terekam kuat dalam ingatan kita. Sebagaima gempa bumi dan tsunami di Aceh (Desember 2004), Gempa di Jogja (Mei 2006),
serta erupsi Merapi di Jogja (September 2010). Kerusakan alam inilah yang
menyebabkan kerugian bagi siapapun dan dimanapun.
Posisi
Indonesia yang terletak di wilayah lempeng Indo-Australia dan Eurasia,
rangkaian Cicin Api Pasifik (Ring Of Fire), adalah wilayah 90 persen
tempat terjadinya gempa di dunia. Terjadinya gempa akan mengakibatkan pada
naiknya gelombang laut yang akan mengakibatkan terjadinya tsunami. Sebagai dampaknya,
bencana lain yang akan terjadi adalah erupsi gunung merapi. Hal ini yang
menempatkan Indonesia sebagai negara yang rawan ditimpa bencana.
Ilmu pengetahuan memandang bencana
sebagai hukum sebab-akibat yang bersumber dari materi dan perbuatan manusia
sendiri. Bagi sebagian orang, bencana dipandang sebagai tanda hukuman dari
Tuhan atas segala perbuatan buruk yang manusia lakukan. Namun, bagi orang
beriman, bencana akan dianggap sebagai ujian dari Tuhan. Sebuah nilai
legitimasi perbuatan baik, untuk naiknya derajat seseorang. Mereka melihat
sebuah hikmah terhadap bencana yang akan terjadi.
Perspektif bencana tidak hanya dapat kita pandang sebagai
kerusakan yang diakibatkan oleh alam. Krisis moral juga merupakan sebuah
bencana bagi berlangsungnya peradaban sebuah bangsa. Tawuran antar siswa, kezoliman
penguasa terhadap rakyat, berjudi, berzina. Demikian juga dengan minimnya
spiritual. Terputusnya hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia akan
berdampak pada hal-hal praktis yang segalanya bersifat duniawi. Kesadaran
tentang dimensi kehidupan hanya berada di dunia. Dan segala kebahagiaan akan
dapat di ukur dengan banyaknya materil.
Lynn
White Jr berpendapat bahwa agama ( teologi
) merupakan akar dari keyakinan yang membentuk watak eksploitatif manusia
terhadap alam. White berkesimpulan, bahwa penyebab terjadinya krisis lingkungan
adalah worldview agama monoteis yang bersifat antroposentris sehingga
manusia mempunyai otoritas yang tidak terbatas (unlimited) dan hak-hak
istimewa (privilage) untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam.
Berbeda
dengan Lynn White Jr, Abdul Qudus melalui perbandingan dengan pendapat
tradisionalisme Islam, yang di antaranya diwakili oleh Seyyed Hossein Nasr,
menganjurkan untuk melakukan Resacralization of Nature berbasis
spiritual agama dan tradisi sebagai pengganti worldview sains modern
sekular, dualistis, reduksionis, mekanistis. Nasr menyatakan bahwa penyebab
utama krisis lingkungan (bencana) adalah karena krisis spiritual,
seiring dengan pandangan antroposentris barat yang memisahkan alam dengan
ketuhanan.
Dalam
ajaran Islam, untuk mendapatkan pengetahuan adalah dengan bersumber pada Allah,
dalam hal ini adalah al-Quran. Sebagaimana Allah mengajarkan nama-nama kepada
adam. Begitu juga dengan pengetahuan tentang bencana, maka harus dilihat dari
perspektif al-Qur’an. setidaknya Terdapat dua konsep besar yang digunakan untuk
mengkaji relasi manusia dengan lingkungan dan alam. Yaitu tujuan penciptaan
alam semesta dan tujuan penciptaan manusia.
Islam tradisional menawarkan
keharmonisan tiga dimensi, yaitu Tuhan, manusia dan alam. Penghilangan salah
satu dimensi itu akan menyebabkan kepincangan (tidak seimbang). Penghilangan dimensi
Tuhan akan menyebabkan terjadinya
sekularisme yang berujung pada krisis lingkungan. Penghilangan dimensi Alam akan menjadikan manusia miskin
pengetahuan dan peradaban. Dan penghilangan dimensi Manusia mengakibatkan
pada kehidupan yang individual, anti sosial dan tidak peka terhadap keadaan.
Perkembangan mentalitas dari magic,
science, dan religion dalam kehidupan masyarakat, bukan suatu hal
yang linier, melainkan masing-masing terdapat sebuah koneksi satu sama lain.
Koneksifitas itu tak lain adalah bagaimana menyeimbangkan kehidupan yang
berhubungan dengan manusia, Tuhan, dan alam.
Pada sisi lain, hal itu merupakan
kekayaan budaya, yang di antaranya dapat mengungkapkan ide, pandangan dan nilai
hidup suatu masyarakat yang menghubungkan terhadap masa selanjutnya. Rekaman
sejarah itu dapat merekonstruksikan peradaban suatu masyarakat, baik di dalam sosial,
intelektual maupun mentalitasnya.
Terjadinya bencana adalah akibat
gangguan terhadap keseimbangan yang telah diciptakan manusia itu sendiri. Selanjutnya
bagaimana kita memaknai secara positif terhadap segala bencana yang telah
terjadi. Bukan menyalahkan terhadap pihak-pihak lain, atau arogansi diri
terhadap nilai-nilai yang paling benar. Membutuhkan waktu yang sangat panjang
untuk mempelajarinya. Tetapi sejauh mana kita dapat merefleksikan diri dengan
membenah pada diri sendiri apa yang harus kita rubah dan pertahankan
kedepannya. Untuk itu, dalam menyikapi bencana yang harus dilakukan adalah
dengan merubah perilaku, sederhana, dan fellow feiling atau rasa
kebersamaan dan persaudaraan yang tinggi.
0 comments:
Post a Comment