Krisis
Spiritual
Di
era modern, manusia mulai meninggalkan nilai-nilai spiritual. Manusia sudah
menganggap dirinya berkuasa terhadap dirinya sendiri. Ketergantungan terhadap
Tuhan tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan yang harus diutamakan. Manusia sudah menjadi
insan yang independen. Inilah sebuah reaksi era modern, sebuah nilai-nilai baru
di dalam masyarakat yang memusatkan tatanan kehidupan terhadap manusia itu
sendiri. Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan menjadi sebuah tanggung jawab
pribadi. Sebagai akibatnya, nilai-nilai spiritual yang seharusnya dibudayakan
telah terputus oleh sebuah era yang penuh akan rasionaitas.
Sebagian orang yang telah mengenal kenikmatan
dunia dengan banyaknya materiil. Mungkin mereka merasa bahwa segala apa yang
dilakukan adalah sebagai bentuk dari ke independenan dirinya terhadap dunia.
Segalanya dapat ia lakukan terhadap apa yang ia inginkan. Namun, adakah
nilai-nilai kedamaian bathin yang dapat ia rasakan. Transportasi yang mewah,
kemajuan tekhnologi yang pesat dan perkembangan-perkembangan lain yang sangat
maju akan melupakan kita terhadap nilai-nilai substansi kebahagiaan. Dimensi spiritual tenggelam dengan sendirinya
atas berjalannya peradaban yang semakin maju ini. Maka manusia hanya akan
melepaskan hubungan bathin yang kerap kali di nomor duakan.
Dalam
teologi Islam, terdapat dua aliran yang saling bertentangan. Yaitu aliran Qodariyah
yang berasumsi bahwa segala perbuatan manusia di dunia adalah mutlak
manusia-lah yang berkehendak, tidak ada intervensi oleh Tuhan. Dan aliran Jabariyah
yang berasumsi bahwa segala perbuatan manusia di dunia merupakan suatu
intervensi dari Tuhan (Fatalism). Melihat fenomena kondisi saat ini,
sepertinya orang telah mulai meninggalkan hal-hal yang dikaitkan terhadap
Tuhan. Artinya kondisi zaman ini akan didominasi oleh suatu doktrin tersendiri
oleh faham qodariyah. Meski saat ini tak ada satu dakwah teologis yang membawa
terhadap mainstrean ini, namun kemujuan zaman akan mengangkut pada arus
rasional.
Zaman ini, sudah tidak bisa
dielakkan lagi bahwa tradisi dan budaya kita telah mengalami sebuah
transformasi. Dahulu, ketika orang-orang sedang ditimpa musibah sakit atau
sebuah kegelisahan, meraka akan mencari obat dan menyegarkan kembali jiwanya pada
hal-hal yang mistis (Irasional) dalam ke-agamaan. I’tikaf di mesjid,
membacakan sebuah surat atau ayat al-Qur’an diyakini sebuah obat yang dapat
menyegarkan kembali ruh kerohanian bathin. Namun sekarang, orang-orang telah
beralih terhadap pengobatan-pengobatan yang nyata (Rasional). Dengan mencari pengobatan yang sifatnya
praktis seperti terapi yang sifatnya adalah pengobatan.
Dalam kondisi dan situasi yang serba
rasional ini, sudah semestinya kita dapat membaca dan memilih terhadap apa yang
seharusnya kita lakukan. Bukan dengan sepenuhnya meninggalkan tradisi spiritual
kita yang mulia yang selama ini telah terbukti dapat menentramkan jiwa. dan
juga bukan sepenuhnya terlarut dalam dunia Fatalism dengan hanya
mengandalkan spiritual semata. Namun, karena era ini adalah era rasional,
kemajuan semakin berkembang hingga menuntut kita mengikuti arus zaman ini.
Semestinya kita tetap membudayakan nilai-nilai spiritual sebagai oase dalam
menyikapi permasalahan-permasalahan yang sangat pesat. Dan tidak menafikan
perkembangan zaman rasional ini.
Persoalan-persoalan tentang rasionalitas
dan irasionalitas sebenarnya bukan hanya terjadi di era ini. Sejak
zaman filsafat teosentris sebenarnya dialektika perdebatan antara determinism
dan fatalism sudah terjadi. Artinya hal ini jangan sampai membuat kita
kaget terhadap keadaan yang ada. Karena langkah yang paling baik adalah kita
menggabungkan tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh orang-orang sebelum
kita, dalam arti sesuai dan masih dinilai baik untuk diterapkan saat ini.
Namun, kita juga jangan sampai sensitif terhadap hal-hal baru yang sangat baik
untuk kita jadikan sebuah tradisi baru untuk kondisi dan situasi saat ini.
Spiritual
yang di zaman ini telah mulai di tinggalkan, tidak akan pernah lenyap dan
hilang karena sebuah zaman rasional. Karena spiritual pada hakekatnya adalah
sebuah nilai-nilai yang terkandung dalam setiap insan. Ia akan tetap bertahan
dengan sendirinya, diatas budaya-budaya miskin moral. Sehingga sudah selayaknya kita menjunjung
tinggi substansi kebahagiaan. Meski pada realitanya dunia telah menjadi
kehidupan rasional. Dalam
keadaan seperti apapun bukan berarti kita akan kaget dengan sebuah perubahan.
Karena dalam realita sejarah kehidupan selalu dinamis. Tidak statis dalam satu
tradisi tertentu.
0 comments:
Post a Comment