Lelaki berjenggot panjang dengan sedikit
membungkuk seperti orang tua itu sangat gugup melihat kedatanganku ke rumahnya.
Sambil mempersilahkan masuk, terlihat jelas mimik mukanya merah seperti orang
ketakutan. Pasti ia tak menyangka kedatanganku..
Dengan sikapnya yang sangat ramah dan tidak
dibuat-buat, dipersilahkannya aku duduk di kursi sofa empuk samping foto keluarga
besarnya yang berukuran besar. Melihat foto itu aku sangat bahagia sekaligus
risih. Bahagia dengan senyum keluarga besar yang sanak keluarganya termasuk
istrinya sudah sukses dengan gelar akademik masing-masing. Risih karena foto
itu mengingatkanku pada masa kuliah dulu.
Ia teman kosku sewaktu kuliah dulu, Darmo
namanya. Empat setengah tahun kami bersama, makan, maen, belajar, bahkan tidur
bersama. Tapi yang paling membuatku risih adalah ketika ia bicara naksir
terhadap tuti, wanita berwajah putih, manis, hidungnya mancung, pintar dan
pastinya banyak ditaksir orang-orang.
Ketika itu aku bilang “mana mungkin tuti
menyukaimu dengan tampang jelek, kelakuannya cuma tidur, makan dan maen game”. Ledekan
yang biasa bagi kami, yang juga kadang-kadang dengan kata-kata hinaan. Padahal aku
bicara demikian dalam kapasitasku juga naksir tuti!!. Pedih rasanya, akhirnya
ia menikah dengan Darmo. Rencana Tuhan memang tidak terduga.
Sudah 20 tahun kami tidak bertemu. Semenjak aku
dinas kerja di Jakarta, dan dia merintis karier politik di salah satu parpol. Kini
ia menjabat sebagai anggota DPR RI. Memang kami sama-sama tinggal di Jakarta,
tapi tidak bertemu kembali sejak kejadian itu. Terakhir kali kami bertemu saat
dia berkemas boyongan dari kos dulu.
“Jadi apa yang membuatmu kemari?”
“Masa lalu”
“Bohong! Kalau ini hanya karna masa lalu, tidak
perlu 20 tahun untuk bertemu dengan jarak rumahmu yang tidak jauh dari rumahku”
Sambil minum teh manis yang disuguhkannya, aku
tersenyum penuh canggung. Sangat canggung untuk melanjutkan pembicaraan apa
yang akan kami lakukan setelah ini. Maklum, 20 tahun tidak bertemu sangat sulit
untuk menjadi diri kami di masa lalu.
Berbicara dengannya, otomatis membuatku
teringat pada masa lalu. Selain tentang tuti, ada hal yang paling berkesan
bagiku, yaitu ketika menghabiskan liburan akhir semester dengan keliling Jawa. Mengingat
peristiwa itu, aku sangat malu padanya.
Waktu itu, kami menuju tanah Jawa dengan
kereta api. Kami berencana keliling tempat-tempat wisata. Rencana ini memang
keinginanku. Sebagai sahabat yang sangat baik darmo mewujudkan keinginanku. Tak
sepeserpun uang yang aku keluarkan. Semua perjalananku ditanggung darmo. Di rumah
darmolah aku menginap, makan, dan menikmati sajian-sajian nikmat kue-kue
kampung. Sesekali aku beli cilok, darmo yang membayarnya. Rokokku sudah
disediakan juga. Larangannya agar aku tak mengeluarkan seperpun uang seperti larangan
umat Islam untuk tidak memakan babi. Jika aku mengeluarkan uang seakan haram. Ia
bukan hanya menanggung kehidupanku di Jawa, tapi menuruti semua keinginanku.
Rumah Darmo di Madiun, setahuku daerah
selatan pulau Jawa ini dekat dengan berbagai pesona keindahan alam. Dimulai dari
Puncak Tawangmangu di kaki Gunung Lawu, Pantai Prigi, bahkan berbagai wisata
sejarah yang sangat banyak. Saat obrolan kami menuju tempat wisata, aku usul perjalan
pertama menuju Tawangmangu. tempat itu bagiku bukan hanya menjadi daya tarik
wisata pegunungan yang asri, tapi juga memiliki nilai sejarah. Organisasi mahasiswa
bernama PMII yang aku geluti memiliki nuansa historis di Tawangmangu. namanya “Deklarasi
Tawangmangu”.
Deklarasi Tawangmangu merupakan refleksi PMII
terhadap kondisi karut marut nasional saat itu. Aku penasaran, dan ingin
mengenang serta merasakan kehadiranku saat Deklarasi Tawangmangu dulu.
Esoknya, kami berangkat. Tawangmangu adalah
pegunungan yang terdapat di kaki gunung Lawu. Wilayah ini juga merupakan akses
perbatasan Jatim dan Jateng. Siapapun yang ingin ke Jawa Tengah atau Jawa Timur
melalui jalur tengah pulau Jawa akan melewati jalan ini.
Sungguh pemandangan indah di sekitar puncak
kaki gunung Lawu. Dengan jalan yang berkelok-kelok, pemandangan perkebunan teh,
stroberi, taman-taman bunga dan rumah-rumah masyarakat membuat perjalanan kami
serasa paling indah dari yang lain-lainnya. Udara dingin khas pegunungan dan
kabut yang menyelimuti perkebunan adalah perjalanan menakjubkan.
Di puncak Tawangmangu kami istirahat sejenak,
menikmati pemandangan langit yang biru dengan kabut awan di sekeliling kami
sejajar dengan ketinggian kami, juga tak jarang berada di bawah kami. Kami menyantap
sate kelinci yang lembut tapi memiliki rasa yang tak kalah dengan makanan-makanan
di restoran. Dagingnya berserat halus yang dipadu dengan irisan bawang merah
dan cabe serta disajikan dengan lontong. Lezat sekali..
Kami sesekali bercanda tentang banyak hal,
dimulai dari politik, sastra, budaya, sepakbola dan wanita. Kami berfoto, tapi
tidak untuk diunggah ke media sosial. Sebagaimana orang-orang kini eksis mengunggah
fotonya di media sosial. Bedanya foto kami tidak ingin dipamerkan. Tidak dengan
menjulurkan lidah, kepala miring dan nyengar nyengir.
Jalan di sekitar puncak Tawang Mangu memang
agak sempit. Batas parkir motor kami sangat mepet dari jalan yang penuh
kendaraan bermotor. Kami berfoto dipinggir jalan. Gaya poseku bergerak
sedemikian rupa. Sambil memotret aku dengan camera tipe Konica Kanpei, mungkin kamera
ini sekarang sudah tidak ada lagi. kami bercanda. “Gayanya kurang seksi”, kata
darmo
Aku ibarat sorang model, disuruh bergerak
kanan kiri. Mundur kedepan dan belakang. Tidak hanya aku, darmo juga memotret
sambil bergerak ke kenan kekiri. Tak jarang ia tengkurap hanya ingin mengambil
gambar pose aku dari bawah. Sesekali kami eksis, merasa orang paling keren di
foto itu.
Tak puas dengan hasil berbagai jepretannya,
darmo menyuruhku untuk berdiri di pinggir jalan aspal. Memang membahayakan,
kata darmo mumpung tidak banyak kendaraaan lewat. Maklum, dari pinggir aspal
itulah pemandangan Gunung Lawu terpampang. Aku hanya mengangguk saja. Sambil berpose
kami melanjutkan pemotretan. Saat hendak momotret sambil tengkurap di samping warung
sate kelinci yang kami beli, mobil dengan kecepatan tinggi menghantam badanku
dari belakang. Darah dari kepalaku berceceran, aku seperti tidak teringat
apa-apa. Yang aku inget pas di depanku, wajah darmo menangis dengan teriakan-teriakan
panik.
Darmo menggendongku ke tepi jalan. Orang-orang
mulai riuh menggerumutiku seperti semut yang memburu makanan. Darmo sangat
panik menelfon kesana kemari. Puskesmas sangat jauh dari puncak. Kepalaku terus
bercucuran darah, karena memang darurat, darmo menyetop mobil pick up yang
lewat. Pada akhirnya aku dibawa menuju rumah sakit yang berada di Kabupaten Megetan”.
Darmo yang senantiasa menemaniku di atas mobil pick up itu, sembari membujukku
untuk tetap tenang. Napasnya terengah-engah kelelahan, tapi rasa tanggung
jawabnya yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat-lipat.
Sesampainya di rumah sakit, aku dibawa ke
ruang ICU. Aku kehabisan darah. Kebetulan darah darmo sama dengan ku. Ia memberiku
sumbangan darah. Aku masih belum sadar sepenuhnya. Tak lama ayah darmo datang. Tak
lain yang ia dapat kecuali amarah dan cemoh ayahnya yang menggerutu seperti
gempuran panah dalam cerita-cerita peperangan.
“Untung kamu gak mati”, kata darmo selesai
mengingat kejadian itu. Seakan candaan, hinaan kami telah bangkit kembali.
Kami tertawa, kami tertawa terbahak-bahak
seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi
masa lalu kami bukanlah sebuah kejadian yang ingin lolos dari maut. Waktu telah
menghapus semua kengerinnya.
Ia kemudian mengajakku bicara tentang
politik. Dengan kapasitasnya sebagai politikus ia menjelaskan secara rinci
perpolitikan nasional. Budaya korupsi dan perilaku koruptor. Aku hanya menyimak
saja. Banyak hal yang dia sampaikan tentang politik. Aku tak tahu bagaimana mengakhiri
percakapan kami. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah kebaikan dari sahabatku
ini. Aku sangat malu, sebagai sahabat aku belum pernah berbuat baik padanya,
aku belum bisa memberi seperti apa yang telah ia berikan kepadaku. Tidak juga
yakin melakukan apa yang ia lakukan kepadaku di puncak Tawangmangu dulu. Dia telah
membuktikan bahwa tanggungjawab dapat timbul dari sebuah persahabatan yang
tulus.
Mataku kemudian melirik pada seragam dinasku
yang berada di dalam tas bertuliskan “Penyidik KPK”. Sebagai aktivis dan pegiat
anti korupsi, seragam dinas itu belum bisa membuatku bangga. Nilainya jauh
lebih kecil dari persahabatanku dengan Darmo. Sampai saat ini Darmopun tidak
tahu, bahwa kedatanganku adalah untuk menyeretnya ke pengadilan Tipikor akibat
kasus Korupsi yang menimpanya.
Ciputat, 04 Januari 2016
0 comments:
Post a Comment