Loading...
Sunday, January 3, 2016

Puncak Tawangmangu


Lelaki berjenggot panjang dengan sedikit membungkuk seperti orang tua itu sangat gugup melihat kedatanganku ke rumahnya. Sambil mempersilahkan masuk, terlihat jelas mimik mukanya merah seperti orang ketakutan. Pasti ia tak menyangka kedatanganku..

Dengan sikapnya yang sangat ramah dan tidak dibuat-buat, dipersilahkannya aku duduk di kursi sofa empuk samping foto keluarga besarnya yang berukuran besar. Melihat foto itu aku sangat bahagia sekaligus risih. Bahagia dengan senyum keluarga besar yang sanak keluarganya termasuk istrinya sudah sukses dengan gelar akademik masing-masing. Risih karena foto itu mengingatkanku pada masa kuliah dulu.

Ia teman kosku sewaktu kuliah dulu, Darmo namanya. Empat setengah tahun kami bersama, makan, maen, belajar, bahkan tidur bersama. Tapi yang paling membuatku risih adalah ketika ia bicara naksir terhadap tuti, wanita berwajah putih, manis, hidungnya mancung, pintar dan pastinya banyak ditaksir orang-orang.

Ketika itu aku bilang “mana mungkin tuti menyukaimu dengan tampang jelek, kelakuannya cuma tidur, makan dan maen game”. Ledekan yang biasa bagi kami, yang juga kadang-kadang dengan kata-kata hinaan. Padahal aku bicara demikian dalam kapasitasku juga naksir tuti!!. Pedih rasanya, akhirnya ia menikah dengan Darmo. Rencana Tuhan memang tidak terduga.

Sudah 20 tahun kami tidak bertemu. Semenjak aku dinas kerja di Jakarta, dan dia merintis karier politik di salah satu parpol. Kini ia menjabat sebagai anggota DPR RI. Memang kami sama-sama tinggal di Jakarta, tapi tidak bertemu kembali sejak kejadian itu. Terakhir kali kami bertemu saat dia berkemas boyongan dari kos dulu.

“Jadi apa yang membuatmu kemari?”

“Masa lalu”

“Bohong! Kalau ini hanya karna masa lalu, tidak perlu 20 tahun untuk bertemu dengan jarak rumahmu yang tidak jauh dari rumahku”

Sambil minum teh manis yang disuguhkannya, aku tersenyum penuh canggung. Sangat canggung untuk melanjutkan pembicaraan apa yang akan kami lakukan setelah ini. Maklum, 20 tahun tidak bertemu sangat sulit untuk menjadi diri kami di masa lalu.

Berbicara dengannya, otomatis membuatku teringat pada masa lalu. Selain tentang tuti, ada hal yang paling berkesan bagiku, yaitu ketika menghabiskan liburan akhir semester dengan keliling Jawa. Mengingat peristiwa itu, aku sangat malu padanya.

Waktu itu, kami menuju tanah Jawa dengan kereta api. Kami berencana keliling tempat-tempat wisata. Rencana ini memang keinginanku. Sebagai sahabat yang sangat baik darmo mewujudkan keinginanku. Tak sepeserpun uang yang aku keluarkan. Semua perjalananku ditanggung darmo. Di rumah darmolah aku menginap, makan, dan menikmati sajian-sajian nikmat kue-kue kampung. Sesekali aku beli cilok, darmo yang membayarnya. Rokokku sudah disediakan juga. Larangannya agar aku tak mengeluarkan seperpun uang seperti larangan umat Islam untuk tidak memakan babi. Jika aku mengeluarkan uang seakan haram. Ia bukan hanya menanggung kehidupanku di Jawa, tapi menuruti semua keinginanku.

Rumah Darmo di Madiun, setahuku daerah selatan pulau Jawa ini dekat dengan berbagai pesona keindahan alam. Dimulai dari Puncak Tawangmangu di kaki Gunung Lawu, Pantai Prigi, bahkan berbagai wisata sejarah yang sangat banyak. Saat obrolan kami menuju tempat wisata, aku usul perjalan pertama menuju Tawangmangu. tempat itu bagiku bukan hanya menjadi daya tarik wisata pegunungan yang asri, tapi juga memiliki nilai sejarah. Organisasi mahasiswa bernama PMII yang aku geluti memiliki nuansa historis di Tawangmangu. namanya “Deklarasi Tawangmangu”.

Deklarasi Tawangmangu merupakan refleksi PMII terhadap kondisi karut marut nasional saat itu. Aku penasaran, dan ingin mengenang serta merasakan kehadiranku saat Deklarasi Tawangmangu dulu.

Esoknya, kami berangkat. Tawangmangu adalah pegunungan yang terdapat di kaki gunung Lawu. Wilayah ini juga merupakan akses perbatasan Jatim dan Jateng. Siapapun yang ingin ke Jawa Tengah atau Jawa Timur melalui jalur tengah pulau Jawa akan melewati jalan ini.

Sungguh pemandangan indah di sekitar puncak kaki gunung Lawu. Dengan jalan yang berkelok-kelok, pemandangan perkebunan teh, stroberi, taman-taman bunga dan rumah-rumah masyarakat membuat perjalanan kami serasa paling indah dari yang lain-lainnya. Udara dingin khas pegunungan dan kabut yang menyelimuti perkebunan adalah perjalanan menakjubkan.

Di puncak Tawangmangu kami istirahat sejenak, menikmati pemandangan langit yang biru dengan kabut awan di sekeliling kami sejajar dengan ketinggian kami, juga tak jarang berada di bawah kami. Kami menyantap sate kelinci yang lembut tapi memiliki rasa yang tak kalah dengan makanan-makanan di restoran. Dagingnya berserat halus yang dipadu dengan irisan bawang merah dan cabe serta disajikan dengan lontong. Lezat sekali..

Kami sesekali bercanda tentang banyak hal, dimulai dari politik, sastra, budaya, sepakbola dan wanita. Kami berfoto, tapi tidak untuk diunggah ke media sosial. Sebagaimana orang-orang kini eksis mengunggah fotonya di media sosial. Bedanya foto kami tidak ingin dipamerkan. Tidak dengan menjulurkan lidah, kepala miring dan nyengar nyengir.

Jalan di sekitar puncak Tawang Mangu memang agak sempit. Batas parkir motor kami sangat mepet dari jalan yang penuh kendaraan bermotor. Kami berfoto dipinggir jalan. Gaya poseku bergerak sedemikian rupa. Sambil memotret aku dengan camera tipe Konica Kanpei, mungkin kamera ini sekarang sudah tidak ada lagi. kami bercanda. “Gayanya kurang seksi”, kata darmo

Aku ibarat sorang model, disuruh bergerak kanan kiri. Mundur kedepan dan belakang. Tidak hanya aku, darmo juga memotret sambil bergerak ke kenan kekiri. Tak jarang ia tengkurap hanya ingin mengambil gambar pose aku dari bawah. Sesekali kami eksis, merasa orang paling keren di foto itu.

Tak puas dengan hasil berbagai jepretannya, darmo menyuruhku untuk berdiri di pinggir jalan aspal. Memang membahayakan, kata darmo mumpung tidak banyak kendaraaan lewat. Maklum, dari pinggir aspal itulah pemandangan Gunung Lawu terpampang. Aku hanya mengangguk saja. Sambil berpose kami melanjutkan pemotretan. Saat hendak momotret sambil tengkurap di samping warung sate kelinci yang kami beli, mobil dengan kecepatan tinggi menghantam badanku dari belakang. Darah dari kepalaku berceceran, aku seperti tidak teringat apa-apa. Yang aku inget pas di depanku, wajah darmo menangis dengan teriakan-teriakan panik.

Darmo menggendongku ke tepi jalan. Orang-orang mulai riuh menggerumutiku seperti semut yang memburu makanan. Darmo sangat panik menelfon kesana kemari. Puskesmas sangat jauh dari puncak. Kepalaku terus bercucuran darah, karena memang darurat, darmo menyetop mobil pick up yang lewat. Pada akhirnya aku dibawa menuju rumah sakit yang berada di Kabupaten Megetan”. Darmo yang senantiasa menemaniku di atas mobil pick up itu, sembari membujukku untuk tetap tenang. Napasnya terengah-engah kelelahan, tapi rasa tanggung jawabnya yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat-lipat.

Sesampainya di rumah sakit, aku dibawa ke ruang ICU. Aku kehabisan darah. Kebetulan darah darmo sama dengan ku. Ia memberiku sumbangan darah. Aku masih belum sadar sepenuhnya. Tak lama ayah darmo datang. Tak lain yang ia dapat kecuali amarah dan cemoh ayahnya yang menggerutu seperti gempuran panah dalam cerita-cerita peperangan.  

“Untung kamu gak mati”, kata darmo selesai mengingat kejadian itu. Seakan candaan, hinaan kami telah bangkit kembali.

Kami tertawa, kami tertawa terbahak-bahak seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi masa lalu kami bukanlah sebuah kejadian yang ingin lolos dari maut. Waktu telah menghapus semua kengerinnya.

Ia kemudian mengajakku bicara tentang politik. Dengan kapasitasnya sebagai politikus ia menjelaskan secara rinci perpolitikan nasional. Budaya korupsi dan perilaku koruptor. Aku hanya menyimak saja. Banyak hal yang dia sampaikan tentang politik. Aku tak tahu bagaimana mengakhiri percakapan kami. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah kebaikan dari sahabatku ini. Aku sangat malu, sebagai sahabat aku belum pernah berbuat baik padanya, aku belum bisa memberi seperti apa yang telah ia berikan kepadaku. Tidak juga yakin melakukan apa yang ia lakukan kepadaku di puncak Tawangmangu dulu. Dia telah membuktikan bahwa tanggungjawab dapat timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mataku kemudian melirik pada seragam dinasku yang berada di dalam tas bertuliskan “Penyidik KPK”. Sebagai aktivis dan pegiat anti korupsi, seragam dinas itu belum bisa membuatku bangga. Nilainya jauh lebih kecil dari persahabatanku dengan Darmo. Sampai saat ini Darmopun tidak tahu, bahwa kedatanganku adalah untuk menyeretnya ke pengadilan Tipikor akibat kasus Korupsi yang menimpanya.

Ciputat, 04 Januari 2016

0 comments:

Post a Comment

 
TOP