Strukturalisme
dalam Perspektif Budaya[1]
Oleh: Ahmad Hifni[2]
“Le sujet y est parle plutot qu’il ne parle. le discours de l’Autre”
(Dalam percakapan psikoanalitis, subjek tidak
berbicara, tetapi dibicarakan. ketidaksadaran merupakan diskursus yang lain)
--Jacques Lacan--
“Segala yang ada di dunia ini, tanpa adanya
struktur, barangkali kehidupan manusia akan berantakan dan tidak akan terarah. Segala
yang terjadi di dunia ini bukan kebetulan, tetapi sudah terstruktur dengan
sangat rapi. Ijtihad Om Claude Levi-Strauus menemukan tesis monumentalnya “mazhab
strukturalisme” membuat Eropa bungkam atas arogansi otoritas kemanusiannya,
bahwa manusia tidak lagi menjadi tuan atau penguasa dalam rumahnya sendiri. Manusia
tidak membuat sistem, tetapi takluk pada sistem itu sendiri, manusia seakan-akan
tergeser dari pusatnya dan ternyata ikut menjadi objek atas perputaran struktur
di dunia”.
--Ahmad Hifni--
Pendahuluan
Terminologi tentang “Strukturalisme” masih
sulit ditentukan maknanya. Menurut Bertens (1936) setidaknya ada tiga hal
kesulitan dalam menentukan defini strrukturalisme, pertama, istilah “struktur”
dan “strukturalisme” banyak sekali dipakai di dalam studi ilmiah, dan
maknanya sangat dinamis, tidak selalu dalam arti yang sama. Faktanya, istilah
“strukturalisme” banyak digunakan dalam studi matematika, logika, fisika,
antropologi, linguistik, sastra dan mungkin juga akan digunakan dalam studi
keilmuan lainnya. Kedua, sangat sulit untuk menentukan identitas seorang
strukturalis. Misalkan, Claude Levi Strauss yang dikenal sebagai “The Father
of France Strukturalis”, ia adalah ahli antropologi budaya, bukan seorang
filosof, tetapi ia bisa mencetuskan teori fenomenal yang dikenal dengan “strukturalisme”.
Ketiga, para tokoh-tokoh strukturalis, secara umum tidak senang dengan
sebutan itu[3]. Jika
demikian, kemudian bagaimana kita bisa memahami Strukturalisme itu?
Terminologi Strukturalisme
Kata “Struktur” dapat diartikan sebagai
kaitan-kaitan yang teratur antara kelompok-kelompok gejala. Sedangkan “Strukturalisme”
bisa diartikan sebagai suatu gerakan pemikiran atau metodologi sains yang
memberikan implikasi ideologi. Pengertian lainnya adalah suatu cara berpikir
yang memandang seluruh realitas (al-maujud) sebagai keseluruhan yang
terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan, artinya struktur itu
adalah tatanan wujud-wujud yang meliputi keutuhan, transformasi dan pengaturan
diri.
Maksudnya adalah pertama, keutuhan yaitu
bahwa tatanan wujud itu bukannya himpunan semata, melainkan karena tiap
komponen yang tergabung di dalamnya pada aturan intrinsik dan tidak memiliki
otoritas kebebasan di luar struktur. Kedua, transformasi yaitu struktur
itu tidak statis tetapi dinamis. Ketiga, pengaturan diri yaitu struktur
tersebut tidak meminta bantuan unsur ekstrinsik dalam proses transformasional
tersebut.
Secara sederhana, strukturalisme bisa diartikan sebagai aliran dalam filsafat
manusia yang menempatkan struktur (baca: sistem) bahasa dan budaya sebagai kekuatan
yang menentukan perilaku dan kesadaran manusia. Dalam mazhab ini, manusia pada
dasarnya merupakan makhluk yang tidak bebas, yang berstruktur oleh sistem
bahasa dan budaya. Tidak ada perilaku, pola berpikir dan kesadaran manusia yang
bersifat individual dan unik yang bebas dari sistem bahasa dan budaya yang
mengungkungnya[4].
Dalam pandangan mazhab strukturalis,
manusia bukan sebagai pusat realitas, bukan pusat kenyataan, pusat pemikiran,
kebebasan, tindakan dan sejarah. manusia hanya diselidiki sebagai unsur yang
berfungsi dalam macam-macam struktur bawah sadar, struktur-struktur politik,
dan struktur-struktur sosial ekonomis. Manusia dibicarakan sebagai roda kecil
dalam suatu mekanisme otonom.
Fungsi manusia dalam keseluruhan
struktur-struktur dapat dibandingkan dengan fungsi kata dalam suatu teks,
manusia tidak bicara sebagai suatu subjek, tetapi dibicarakan sebagai objek. Pandangan
inilah yang dimaksud sebagai anti-tesis dari pandangan mazhab eksistensialis
yang meyakini manusia sebagai pusat realitas. Di sampaing itu pandangan ini
juga mengguncangkan pandangan empirisme dan rasionalisme serta para saintis
yang mengagungkan epistimologi rasional-empirik dan realitas objektif.
Latar Historis
Secara historis, strukturalisme lahir
sekitar tahun 60-an sebagai anti-tesis dari filsafat fenomenologi
eksistensialis, yang memiliki pandangan manusia sebagai titik sentral
eksistensi kehidupan. Tetapi bagi mazhab strukruralis, manusia
digambarkan sebagai hasil dari struktur-struktur, bukan sebagai pencipta
struktur-struktur. Saat itu strukturalisme dengan cepat dikenal orang. Tokoh yang
memprakarsai mazhab ini adalah Claude Levi-Straus dan Michel Foucault. Inti dari
penelitian mereka adalah bagaimana bisa terjadi bahwa dalam suatu kebudayaan segala
sesuatu bisa saling berhubungan?. Tesis dari studi mereka menghasilkan jawaban
bahwa kehidupan manusia juga ter-struktur.
Aliran atau mazhab pemikiran ini muncul ketika
mazhab eksistensialisme pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan
oleh struktur-struktur ilmiah, teknologi dan ekonomi membuat eksistensi manusia
sebagai subjek yang otonom kian pudar. Awalnya, strukturalisme hanya
dikenal sebagai metode dalam studi linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand
de Saussure. Dalam perkembangannya merambah pada bidang studi lainnya.
Misalnya, oleh para penganut mazhab formalisme Rusia, strukturalisme diterapkan
dalam studi ilmu sastra. Noam Chomsky menerapkan pada bidang linguistik, Claude
Levi-Strauss menerapkan pada bidang Antropologi budaya, dan M. Faocault dalam
sejarah kebudayaan.
Pandangan Strukturalisme Budaya
Dalam menentukan corak strukturalisme
perspektif budaya, maka acuannya adalah Levi-Strauss sebagai bapak strukturalis
Perancis (peletak dasar strukturalisme) yang ia geluti dalam perspektif
antropologi budaya. Levi-Strauss meyakini bahwa analisis kebudayaan (bahkan
analisis kehidupan sosial, termasuk seni dan agama) bisa dilakukan seperti
model analisis bahasa. Menurutnya, sifat dan aspek-aspek kebudayaan sama sama
dengan sifat-sifat bahasa[5].
Oleh karena itu, Levi-Strauss menyamakan objek kebudayaan sama dengan objek
linguistik.
Pandangan teori strukturalisme budaya ini
sangat dipengaruhi oleh teori linguistik, terutama yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure. Adalah teori monumentalnya berupa signifiant (penanda),
signifie (yang ditandakan), langue (bahasa umum), parole
(Bahasa Individu), sinkroni (peninjauan ahistoris) dan diakroni (peninjauan
historis)[6].
Bahasa seluruhnya merupakan sistem
tanda, unsu-unsur bahasa yang disebut fonem merupakan sutu sistem yang terdiri
dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Aturan-aturan linguitik memperlihatkan
suatu taraf tidak sadar. Misalkan aturan perihal tata bahasa diterapkan orang
tanpa ragu. Padahal orang tidak mengenal hukum atau atau aturan itu secara
sadar. Begitu juga dengan kebudayaan masyarakat, mereka menjalankan budaya
kesehariannya tanpa sadar bahwa terdapat sistem yang terstruktur dalam
implementasinya.
Fenomena kebudayaan dapat ditanggapi
sebagaimana sistem atau rangkaian tanda. Tanda memiliki makna atau lebih tepat
diberi makna. Akan tetapi makna ini berada pada tataran yang tidak disadari
oleh pelakunya atau pemberi makna itu sendiri. Begitu juga fenomena kebudayaan
yang terjadi di kalangan masyarakat juga memiliki struktur yang tidak disadari
oleh manusia sendiri. Melalui pendekatan filsafat bahasa dalam mengkaji
pemikiran tokoh maka ditemukan bahwa prestasi tokoh strukturalisme seperti
Claude Levi-Strauss (1908) ini adalah memadukan antara sosiologi dan antropologi
dengan mengikutsertakan ilmu bahasa.
Levi-Straus menganalisis dan menjelaskan sistem
kekerabatan masyarakat dengan menggunakan teori strukturalis. Ia menyamakan
objek kekerabatan dengan linguistik dengan argumen yang menarik. Kekerabatan
dan perkawinan merupakan sebuah sistem dan sistem itu terdiri atas
relasi-relasi dan oposisi. Misalkan suami-istri, bapak-anak, saudara
laki-laki-saudara perempuan dan seterusnya. Hal ini sama dengan bahasa, kekerabatan
merupakan komunikasi, karena ada informasi dan pesan-pesan yang disampaikan
individu ke individu yang lain. Dan karena alasan klan-klan, suku, famili, dan
grup-grup sosial lain saling tukar menukar wanita, begitu juga bahasa sebagai
penukaran, komunikasi dan dialog[7].
Levi-Strauss menggunakan metode antropologi dan
linguistik secara serempak. Dalam penerapan metodenya, kemiripan berbagai macam
mitos dan adat-istiadat dalam pelbagai masyarakat dipandang sebagai porsi dari
struktur yang tidak dikonstitusikan oleh analisis melainkan dilarutkan dengan
analisis[8].
Levi-Strauss memandang perilaku budaya, upacara, ritus, kekerabatan, hukum
perkawinan, cara memasak dan sebagainya bukan sebagai wujud yang intrisik, yang
diperhatikannya adalah hubungan unsur-unsur yang membentuk strukturnya
masing-masing, sepadan dengan unsur fonologis suatu bahasa. Istilah kekerabatan
merupakan unsur makna; seperti fonem, istilah kekerabatan itu memperoleh makna
hanya jika diintegrasikan ke dalam sistem.
Dengan demikian, kebudayaan itu seperti fonem.
Ia merupakan suatu sistem yang tak terpisahkan, di dalamnya terdapat
satuan-satuan unsur yang tak terpisahkan satu sama lain. Sebagai contoh,
Levi-Strauss memandang bahwa kekerabatan di dalam masyarakat primitif sebagai
sistem komunikasi, karena klen-klen atau famili-famili atau grup-grup sosial
lain, tukar menukar budaya. Sebagaimana bahasa merupakan pertukaran, komunikasi,
dialog demikian juga sistem kekerabatan.
Tokoh-Tokoh Strukturalisme
Beberapa tokoh penting mazhab Strukturalisme
adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), Levi Strauss (1949), Michael
Foucault (1926), Jacques Lacan (1901), Louis Althusser (1918), Noam Chomsky
(1926), Roland Barthes, Jacques Derrida, Jakobson dan Julia Kristeva. Tiga
tokoh yang disebut terakhir bisa dikategorikan sebagai tokoh-tokoh peletak
post-strukturalisme dalam sastra dan para penganut mazhab post-modernisme[9].
Pustaka
Abidin, Zainal. Filsafat
Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, 2003, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)
Bartens, K. Filsafat Barat
Kontemporer, (Cet. III dan IV, Edisi Revisi dan Perluasan, Gramedia Pustaka
Utama, 2001 dan 2006)
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat
Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, 2006, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya)
Outhwaite, Willian. Ensiklopedi Pemikiran
Sosial Modern, 2008 (Edisi Kedua, Cet I; Jakarta: Kencana Prenada Media
Group). Lihat Bottomore, T. Dan Nisber, R eds 1978: Bab 14. A
Verhaar, J.W.M,
Asas-asas Linguitik Umum, 2010(Yogyakarta: Gadjah
Mada University)
[1]
Makalah
ini disampaikan dalam kajian rutin mingguan Madrasah Qohwah; Ciputat
Cultural Studies dengan tema”Strukturalisme dalam Perspektif Budaya”, Jum’at,
04 Maret 2016
[2]
Aktif
Pada Madrasah Qohwah; Ciputat Cultural Studies
[3]
Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda,
2006, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hlm.101
[4]
Zainal
Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, 2003, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya), Hlm. 34
[5]
Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda,
2006, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hlm.113
[6]
J.W.M.
Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, 2010 (Yogyakarta: Gajah Mada
University)
[7]
K.
Bartens. Filsafat Barat Kontemporer, (Cet. III dan IV, Edisi Revisi dan
Perluasan, Gramedia Pustaka Utama, 2001 dan 2006) Hlm. 210
[8]
Willian
Outhwaite. Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern (Edisi Kedua, Cet I;
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008). Hlm 852. Lihat Bottomore, T. Dan
Nisber, R eds 1978: Bab 14. A
[9]Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda,
2006, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hlm.105
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete