Loading...
Monday, October 6, 2014

Ibnu Rusyd Memandang Persoalan KPK


Ibnu Rusyd Memandang Persoalan KPK


Sekitar abad ke-11 M yang lalu, dunia Islam dihebohkan oleh persoalan filsafat, seperti tentang hakikat kehidupan setelah kematian, hakikat pengetahuan Tuhan terhadap segala sesuatu dan hal-hal metafisis lainnya. Persoalan ini menyedot hampir semua komunitas umat Islam. Bahkan tidak jarang daya ledak kontroversi persoalan ini masih “mengguncang” dunia Islam hingga sekarang.

Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadi salah satu tokoh utama dalam persoalan filsafat di atas. Imam Al-Ghazali mengkritik bahkan mengkafirkan para filsuf (terutama dalam persoalan-persoalan seperti di atas) lantaran pandangan mereka dianggap menyalahi ketentuan agama sebagaimana yang dipahami oleh logika umum. Buku berjudul Tafatut Al-Falasifah yang dikarang oleh Imam Al-Ghazali dapat menggambarkan pandangan kritis beliau terhadap para filsuf.

Ibnu Rusyd yang tak lain adalah filsuf terkemuka setelah Imam Al-Ghazali mengoreksi dan mengkritik pandangan-pandangan Imam Al-Ghazali dalam persoalan filsafat. Menurut Ibu Rusyd, kesalahan Imam Al-Ghazali bukan semata-mata pandangannya tentang filsafat. Melainkan karena beliau membuka persoalan-persoalan filsafat yang cukup pelik ke ruang publik. Hingga masyarakat umum dilibatkan dan diikutkan dalam bentuk aksi dukung-mendukung.

Sebagaimana dimakumi, Ibnu Rusyd membagi masyarakat ke dalam tiga tingkatan (Fashlu Al-Maqal). Pertama, tingkatan masyarakat umum atau retorik (al-khithabiyyun). Ini adalah tingkatan masyarakat pada umumnya dan mempunyai pola pikir tersendiri. Di mana pada umumnya pola pikir masyarakat dalam tingkatan ini bersifat sederhana, ringan dan tidak mendalam.

Persoalan-persoalan pelik dan mendalam seperti filsafat tak bisa “diobral” kepada masyarakat dalam tingkatan sederhana seperti di atas. Karena kapasitasnya tidak memungkinkan. Dan hampir bisa dipastikan, membawa pembahasan pelik filsafat ke wilayah logika umum tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada. Besar kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya, persoalan yang ada menjadi tambah tidak menentu.

Kedua, tingkatan masyarakat dialektis (al-jadaliun). Dalam bahasa sekarang, tingkatan ini bisa disebut sebagai kelas menengah. Logika yang digunakan masyarakat dalam tingkatan ini sedikit lebih tinggi dibanding tingkatan yang pertama. Pembahasan pelik dan berat seperti filsafat tidak akan menciptakan guncangan seperti dalam konteks tingkatan pertama. Namun demikian, sebagaimana pada masyarakat tingkatan pertama, masyarakat pada tingkatan ini belum mampu menyelesaikan persoalan berat seperti filsafat.

Ketiga, tingkatakan demonstratif (al-ulama’ atau al-burhaniyyun). Dalam bahasa sekarang, masyarakat dalam tingkatan ini bisa disebut dengan istilah masyarakat elite atau para ahli. Menurut Ibnu Rusyd, sejatinya persoalan berat seperti filsafat dibahas dan diperdebatakan dalam kehidupan masyarakat pada level ini. Hingga pokok-pokok persoalan yang ada bisa dibahas secara jernih untuk kemudian mendapatkan jalan terbaik.

Persoalan Berbahaya

Kisruh besar yang dialami bangsa ini sekarang mengingatkan penulis kepada perdebatan filsafat seperti di atas. Di mana perdebatan ini melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat umum. Padahal, sebagaimana filsafat di atas, persoalan hukum yang terjadi sekarang bukanlah konsumsi ringan yang dengan mudah dapat dicerna publik.

Meminjam istilah Ibnu Rusyd di atas, logika retorik masyarakat umum telah dilibatkan untuk membahas persoalan-persoalan hukum yang sangat pelik. Di mana sejatinya persoalan ini dibahas dan diselesaikan oleh masyarakat yang berada dalam tingkatan demonstratif atau para ahli.

Tidak mengherankan bila persoalan hukum yang ada belakangan ini bertambah hari bukanlah bertambah jernih, melainkan bertambah kusut dan sungguh sangat mencemaskan. Aksi dukung-mendukung pun seakan menjadi jalan tunggal yang harus ditempuh untuk mengungkap sebuah kebenaran hukum.

Hal di atas tentu sangat berbahaya. Karena akan membawa masyarakat luas ke dalam aksi dukung-mendukung yang berpotensi memecah-belah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam beberapa keadaan, hal ini sudah terjadi sekarang.

Di samping itu, hal di atas akan mengundang hadirnya kembali kekuatan (dalam arti otot) sebagai hukum yang memaksa semua pihak untuk menerima. Mereka yang benar secara hukum adalah mereka yang mempunyai kekuatan secara otot. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan latar belakang adanya kesadaran hukum dalam kehidupan masyarakat yang majemuk dan plural.

Dalam bayangan penulis, seandainya Ibnu Rusyd masih hidup, kurang-lebih filsuf besar pada abad pertengahan ini akan memberikan sumbangan pemikiran sebagaimana di atas kepada bangsa ini, terutama para elite dan para pakar. Yaitu agar tidak semua persoalan (terutama persoalan rumit seperti hukum) dibawa ke rungan publik sebagai “pengadilan terbuka”. Sebaliknya, semua persoalan yang ada sejatinya disikapi dan ditangai secara proporsional, tentu dengan mengacu kepada tiga kelas sosial di atas.

Tentu pandangan dan sikap Ibnu Rusyd seperti di atas tidak dalam rangka menghancurkan sistem demokrasi yang menjadikan masyarakat sebagai penentu sebuah pemerintahan. Sebagaimana juga Ibnu Rusyd tidak bermaksud merendahkan peran dan pengetahuan masyarakat.

Sebagai filsuf besar, Ibnu Rusyd sangat memahami arti kemerdekaan bagi manusia. Baik kemerdekaan berfikir terlebih lagi kemerdekaan masyarakat dalam menentukan jalan hidupnya. Begitu juga Ibnu Rusyd sangat mendukung terjadinya pencerahan dan ilmu pengetahuan masyarakat. Dan demi tujuan mulia ini Ibnu Rusyd telah melahirkan sejumlah pemikiran besar, salah satunya tentang tiga kelas di atas.

Oleh karenanya, pandangan Ibnu Rusyd di atas sesungguhnya dimaksudkan sebagai sikap bijaksana dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Dimana sebuah sikap sejatinya diambil dalam rangka memberikan titik terang terhadap masalah yang ada, bukan justru membuatnya tambah tidak menentu.

Kedewasaan Berbangsa

Dalam konteks ini, kedewasaan hidup berbangsa menjadi salah satu kunci utama untuk menyelematkan bangsa ini dari ancaman perpecahan dan hukum jalanan. Kedewasaan hidup berbangsa harus menjadi kesadaran semua pihak, baik masyarakat biasa, pemerintah, para elite dan elimen-elimen lainnya.

Dengan kata lain, pelbagai persoalan mutakhir yang sangat panas belakangan ini menunjukkan lemahnya kesadaran semua pihak terkait dengan kehidupan berbangsa. Kesadaran berbangsa pemerintah lemah hingga mereka mengabaikan amanah rakyat. Kesadaran berbangsa para penegak hukum lemah hingga mereka memperjual-belikan perkara. Dan kesadaran berbangsa masyarakat pun lemah hingga mereka ikut-ikutan dalam aksi dukung-mendukung persoalan yang ada.

Padahal bisa dipastikan, masyarakat umum tidak mempunyai pemahaman yang utuh tentang persoalan hukum mutakhir. Hal ini bukan semata-mata karena inti persoalannya susah dipahami, melainkan karena pesoalan yang ada sengaja diperrumit oleh mereka yang ahli dan berkepentingan. Hingga para ahli hukum pun tampak samar-samar dalam menangkap inti persoalan yang ada.

Lemahnya kesadaran hidup berbangsa di kalangan para elite tentu harus diberi catatan tersenidiri. Bukan hanya karena mereka membebani masyarakat luas dengan hal-hal berat secara tidak proporsional, lebih daripada itu, karena mereka seringkali menjadi “penumpang gelap” dalam perjuangan masyarakat. Hingga perjuangan masyarakat seringkali kehilangan keasliannya karena telah bercampur dengan kepentingan politik dan dendam para elite bangsa ini.

Atasnama kedewasaan hidup berbangsa, mari kita sikapi persoalan hukum yang ada sesuai dengan pemahaman masing-masing (jangan ikut-ikutan). Atasnama kedewasaan hidup berbangsa, mari kita dukung para ahli untuk secara jujur menyelesaikan persoalan hukum yang ada. Dan atasnama kedewasaan hidup berbangsa, kita berdoa agar mereka yang salah mengakui kesalahannya, bukan justru menyalahkan pihak lain.




0 comments:

Post a Comment

 
TOP