Sekitar abad
ke-11 M yang lalu, dunia Islam dihebohkan oleh persoalan filsafat, seperti
tentang hakikat kehidupan setelah kematian, hakikat pengetahuan Tuhan terhadap
segala sesuatu dan hal-hal metafisis lainnya. Persoalan ini menyedot hampir
semua komunitas umat Islam. Bahkan tidak jarang daya ledak kontroversi
persoalan ini masih “mengguncang” dunia Islam hingga sekarang.
Imam
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadi salah satu tokoh utama dalam persoalan
filsafat di atas. Imam Al-Ghazali mengkritik bahkan mengkafirkan para filsuf (terutama
dalam persoalan-persoalan seperti di atas) lantaran pandangan mereka dianggap
menyalahi ketentuan agama sebagaimana yang dipahami oleh logika umum. Buku
berjudul Tafatut Al-Falasifah yang
dikarang oleh Imam Al-Ghazali dapat menggambarkan pandangan kritis beliau
terhadap para filsuf.
Ibnu Rusyd
yang tak lain adalah filsuf terkemuka setelah Imam Al-Ghazali mengoreksi dan
mengkritik pandangan-pandangan Imam Al-Ghazali dalam persoalan filsafat.
Menurut Ibu Rusyd, kesalahan Imam Al-Ghazali bukan semata-mata pandangannya tentang filsafat. Melainkan karena beliau membuka
persoalan-persoalan filsafat yang cukup pelik ke ruang publik. Hingga
masyarakat umum dilibatkan dan diikutkan dalam bentuk aksi dukung-mendukung.
Sebagaimana
dimakumi, Ibnu Rusyd membagi masyarakat ke dalam tiga tingkatan (Fashlu Al-Maqal). Pertama, tingkatan masyarakat umum atau retorik (al-khithabiyyun). Ini adalah tingkatan
masyarakat pada umumnya dan mempunyai pola pikir tersendiri. Di mana pada
umumnya pola pikir masyarakat dalam tingkatan ini bersifat sederhana, ringan
dan tidak mendalam.
Persoalan-persoalan
pelik dan mendalam seperti filsafat tak bisa “diobral” kepada masyarakat dalam
tingkatan sederhana seperti di atas. Karena kapasitasnya tidak memungkinkan. Dan
hampir bisa dipastikan, membawa pembahasan pelik filsafat ke wilayah logika
umum tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada. Besar kemungkinan yang
terjadi justru sebaliknya, persoalan yang ada menjadi tambah tidak menentu.
Kedua, tingkatan masyarakat dialektis (al-jadaliun). Dalam bahasa sekarang, tingkatan ini bisa disebut
sebagai kelas menengah. Logika yang digunakan masyarakat dalam tingkatan ini
sedikit lebih tinggi dibanding tingkatan yang pertama. Pembahasan pelik dan
berat seperti filsafat tidak akan menciptakan guncangan seperti dalam konteks
tingkatan pertama. Namun demikian, sebagaimana pada masyarakat tingkatan
pertama, masyarakat pada tingkatan ini belum mampu menyelesaikan persoalan
berat seperti filsafat.
Ketiga, tingkatakan demonstratif (al-ulama’ atau al-burhaniyyun).
Dalam bahasa sekarang, masyarakat dalam tingkatan ini bisa disebut dengan
istilah masyarakat elite atau para ahli. Menurut Ibnu Rusyd, sejatinya
persoalan berat seperti filsafat dibahas dan diperdebatakan dalam kehidupan
masyarakat pada level ini. Hingga pokok-pokok persoalan yang ada bisa dibahas
secara jernih untuk kemudian mendapatkan jalan terbaik.
Persoalan Berbahaya
Kisruh besar
yang dialami bangsa ini sekarang mengingatkan penulis kepada perdebatan
filsafat seperti di atas. Di mana perdebatan ini melibatkan banyak pihak,
termasuk masyarakat umum. Padahal, sebagaimana filsafat di atas, persoalan
hukum yang terjadi sekarang bukanlah konsumsi ringan yang dengan mudah dapat
dicerna publik.
Meminjam
istilah Ibnu Rusyd di atas, logika retorik masyarakat umum telah dilibatkan
untuk membahas persoalan-persoalan hukum yang sangat pelik. Di mana sejatinya
persoalan ini dibahas dan diselesaikan oleh masyarakat yang berada dalam
tingkatan demonstratif atau para ahli.
Tidak
mengherankan bila persoalan hukum yang ada belakangan ini bertambah hari
bukanlah bertambah jernih, melainkan bertambah kusut dan sungguh sangat
mencemaskan. Aksi dukung-mendukung pun seakan menjadi jalan tunggal yang harus
ditempuh untuk mengungkap sebuah kebenaran hukum.
Hal di atas tentu
sangat berbahaya. Karena akan membawa masyarakat luas ke dalam aksi
dukung-mendukung yang berpotensi memecah-belah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam beberapa keadaan, hal ini sudah terjadi sekarang.
Di samping
itu, hal di atas akan mengundang hadirnya kembali kekuatan (dalam arti otot)
sebagai hukum yang memaksa semua pihak untuk menerima. Mereka yang benar secara
hukum adalah mereka yang mempunyai kekuatan secara otot. Hal ini tentu sangat
bertentangan dengan latar belakang adanya kesadaran hukum dalam kehidupan
masyarakat yang majemuk dan plural.
Dalam
bayangan penulis, seandainya Ibnu Rusyd masih hidup, kurang-lebih filsuf besar
pada abad pertengahan ini akan memberikan sumbangan pemikiran sebagaimana di
atas kepada bangsa ini, terutama para elite dan para pakar. Yaitu agar tidak
semua persoalan (terutama persoalan rumit seperti hukum) dibawa ke rungan
publik sebagai “pengadilan terbuka”. Sebaliknya, semua persoalan yang ada sejatinya
disikapi dan ditangai secara proporsional, tentu dengan mengacu kepada tiga
kelas sosial di atas.
Tentu
pandangan dan sikap Ibnu Rusyd seperti di atas tidak dalam rangka menghancurkan
sistem demokrasi yang menjadikan masyarakat sebagai penentu sebuah
pemerintahan. Sebagaimana juga Ibnu Rusyd tidak bermaksud merendahkan peran dan
pengetahuan masyarakat.
Sebagai
filsuf besar, Ibnu Rusyd sangat memahami arti kemerdekaan bagi manusia. Baik
kemerdekaan berfikir terlebih lagi kemerdekaan masyarakat dalam menentukan
jalan hidupnya. Begitu juga Ibnu Rusyd sangat mendukung terjadinya pencerahan
dan ilmu pengetahuan masyarakat. Dan demi tujuan mulia ini Ibnu Rusyd telah
melahirkan sejumlah pemikiran besar, salah satunya tentang tiga kelas di atas.
Oleh
karenanya, pandangan Ibnu Rusyd di atas sesungguhnya dimaksudkan sebagai sikap
bijaksana dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Dimana
sebuah sikap sejatinya diambil dalam rangka memberikan titik terang terhadap masalah yang ada, bukan justru membuatnya tambah tidak
menentu.
Kedewasaan Berbangsa
Dalam
konteks ini, kedewasaan hidup berbangsa menjadi salah satu kunci utama untuk
menyelematkan bangsa ini dari ancaman perpecahan dan hukum jalanan. Kedewasaan
hidup berbangsa harus menjadi kesadaran semua pihak, baik masyarakat biasa,
pemerintah, para elite dan elimen-elimen lainnya.
Dengan kata
lain, pelbagai persoalan mutakhir yang sangat panas belakangan ini menunjukkan
lemahnya kesadaran semua pihak terkait dengan kehidupan berbangsa. Kesadaran
berbangsa pemerintah lemah hingga mereka mengabaikan amanah rakyat. Kesadaran
berbangsa para penegak hukum lemah hingga mereka memperjual-belikan perkara.
Dan kesadaran berbangsa masyarakat pun lemah hingga mereka ikut-ikutan dalam
aksi dukung-mendukung persoalan yang ada.
Padahal bisa
dipastikan, masyarakat umum tidak mempunyai pemahaman yang utuh tentang
persoalan hukum mutakhir. Hal ini bukan semata-mata karena inti persoalannya
susah dipahami, melainkan karena pesoalan yang ada sengaja diperrumit oleh
mereka yang ahli dan berkepentingan. Hingga para ahli hukum pun tampak
samar-samar dalam menangkap inti persoalan yang ada.
Lemahnya
kesadaran hidup berbangsa di kalangan para elite tentu harus diberi catatan
tersenidiri. Bukan hanya karena mereka membebani masyarakat luas dengan hal-hal
berat secara tidak proporsional, lebih daripada
itu, karena mereka seringkali menjadi “penumpang gelap” dalam perjuangan
masyarakat. Hingga perjuangan masyarakat seringkali kehilangan keasliannya
karena telah bercampur dengan kepentingan politik dan dendam para elite bangsa
ini.
Atasnama
kedewasaan hidup berbangsa, mari kita sikapi persoalan hukum yang ada sesuai
dengan pemahaman masing-masing (jangan ikut-ikutan). Atasnama kedewasaan hidup
berbangsa, mari kita dukung para ahli untuk secara jujur menyelesaikan
persoalan hukum yang ada. Dan atasnama kedewasaan hidup berbangsa, kita berdoa
agar mereka yang salah mengakui kesalahannya, bukan justru menyalahkan pihak
lain.
0 comments:
Post a Comment