Sejak dulu, sudah menjadi rutinitas tahunan kampus menyelenggarakan
Pemilihan Raya. UIN Jakarta akan menyelenggarakannya pada 25 November
mendatang. Momentum ini diharapkan menjadi lahan pembelajaran politik
mahasiswa, karena sistem yang digunakan adalah representasi dari pemerintahan
nasional.
Sistem
Pemerintahan Kampus
Sistem yang
digunakan di dalam pemerintahan kampus, dalam hal ini UIN Jakarta merupakan
adopsi dari pemerintahan nasional. Bila sistem pemerintahan di tingkat nasional
memiliki lembaga Trias Politica, yakni Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif, maka demikian pula di dalam sistem pemerintahan kampus UIN
Jakarta. Hanya saja sektor Yudikatif bermuara pada kebijakan Rektorat
atau Dekanat bidang kemahasiswaan yang sifatnya mengadili sekaligus memberikan
sangsi kepada para penyelenggara pemerintahan kampus apabila terbukti melanggar
kebijakan pemerintahan.
Peran Eksekutif
diisi oleh DEMA (Dewan Mahasiswa), yang memiliki posisi strategis sebagai
pemangku dan eksekutor kebijakan yang berhubungan dengan dinamika kemahasiswaan
di dalam atau di luar lingkungan kampus. Sedangkan peran Legislatif
diisi oleh SEMA (Senat Mahasiswa) yang mempunyai peran sebagai pengontrol
segala kebijakan Eksekutif. Posisi ini juga strategis, guna mengawasi
jalannya roda pemerintahan serta menjaga stabilitas kebijakan agar tidak
bertentangan atau melanggar etika kemahasiswaan.
Dari deskripsi
ini, kampus seringkali dianalogikan sebagai negara kecil (Miniatur of State)
sehingga dapat dikatakan lembaga pemerintahan kampus Student Government dianggap
representasi dari pemerintahan nasional. Artinya, segala bentuk aktivitas
kenegaraan terewejantahkan dalam segala bentuk aktivitas pemerintahan
kemahasiswaan kampus sebagai media artikulasi realitas kehidupan bernegara.
Kepentingan
Sebuah kampus
seharusnya bersifat dan berprinsip akademik. Yakni melestarikan berpikir
objektif, mengandalkan kejujuran berdasarkan fakta, serta mencintai ilmu
pengetahuan, teknologi, seni serta nilai-nilai kreativitas dan akademis lain.
Namun, dalam perkembangannya kampus seringkali dijadikan ‘Miniatur Politik’. Memang
pada realitanya, kampus tak bisa dilepas dari kepentingan politik. meskipun
dibingkai dengan kegiatan-kegiatan debat, orientasi, kuliah umum, seminar, dan
idiom lain yang setingkat dengannya. Namun, perlu diketahui bahwa pada
substansinya politik kampus sungguh berbeda dengan politik luar kampus (Politik
Nasional).
Meskipun pada
pengejewantahan pemerintahannya antara politik kampus dan politik nasional
hampir sama, tetapi pada substansinya berbeda. Politik kampus adalah
pembelajaran mahasiswa bagaimana mengelola pemerintahan yang baik Good
Government, serta berpartisipasi dalam sistem yang dilaksanakan kampus
tersebut. Maka seharusnya tidak ada kepentingan politik praktis maupun politik pribadi
dan kelompok di dalam pemerintahan kampus. Sedangkan politik nasional adalah
politik praktis yang mengedepankan Who is Gets, When and How. Atau kepentingan pribadi maupun kelompok yang
dijadikan sebagai landasan- Pragmatis.
Faktanya,
pemerintahan di kampus selalu dijadikan perebutan kekuasaan organisasi-organisasi
Ekstra. Hingga melahirkan konflik-konflik baru serta berlanjut pada
ketidakharmonisan antar organisasi. Hal inilah kekeliruan besar mahasiswa
memahami etika dan substansi Politik kampus.
Sungguh sangat disayangkan, rutinitas tahunan ini yang seharusnya
menjadi lahan pembelajaran politik mahasiswa berubah menjadi kontestasi buruk
saling menjelekkan, saling gesek menggesek dan tak jarang konflik fisik
terjadi. Penyalahgunaan sistem ini merupakan bukti nyata bahwa kampus seringkali
dijadikan perebutan politik praktis mahasiswa. Maka dampaknya adalah bukan
pembelajaran pemerintahan yang terjadi, melainkan pembusukan kampus.
Saat ini, permasalahan kampus terus saja berkembang di
tengah-tengah pasang surutnya kondisi sosial politik negeri ini. Dan sungguh
sangat ironis, permasalahan yang berkembang di kampus hanya permasalahan yang
sama sekali belum menunjukkan kekuatan bersama, melainkan saling unjuk kekuatan
untuk memperebutkan kekuasaan kampus.
Pernyataan fanatisme kelompok seringkali saya dengar dengan
kata-kata “kamu bukan anggota organisasiku, maka kamu musuhku, kamu tidak
sealiran denganku, maka kamu salah”, entah siapa yang pertama kali melahirkan
teori fanatisme seperti ini belum diketahui. Yang pasti amaliah buruk yang
ditradisikan pada adik-adik maupun kader organisasi-organisasi ekstra kampus
oleh para senior kita merupakan tradisi buruk dan dosa-dosanya akan terus
mengalir. Sehingga mahasiswa hanya menjadi robot oknum tertentu yang haus
kekuasaan.
Mahasiswa sebagai konstituen merupakan subjek terpenting bagi Student
Government untuk diperhatikan. Student Government Mahasiswa muncul
untuk memberikan pelayanan, menyalurkan aspirasi, perlindungan, pembelajaran, advokasi
bagi mahasiswa. Bukan menjadi arena kekuasaan yang menjadi tolak ukur
keberhasilan organisasi ekstra kampus. Karna sejatinya, keberhasilan organisasi
ekstra kampus adalah menciptakan kader yang berjiwa pemimpin, akademis,
intelektual, serta mempunyai moralitas dan idealisme sebagai lokomotif
perubahan.
Sebuah Asumsi
Tinggal menghitung
hari menuju pemira UIN Jakarta. Pertanyaannya seberapa berhasilkan Pemira tahun
ini menjadikan ajang pembelajaran dan demokrasi? maka sebagai jawaban ada
beberapa kesimpulan yang dapat saya asumsikan. Pertama, apabila
penerapan sistem demokrasi dalam pemerintahan kampus berjalan dengan baik maka
pembentukan karakter mahasiswa yang demokratis akan terbentuk. Itu artinya UIN
Jakarta telah berhasil menjadikan Pemilihan Raya tahun ini sebagai ajang
pembelajaran politik mahasiswa yang damai, adil, transparan, dan tanpa konflik.
Kedua, partisipasi
mahasiswa dalam Pemilihan Raya tahun ini juga bisa dikatakan menjadi tolak ukur
berhasilnya UIN Jakarta menyelenggrakannya secara demokratis. Sebagaimana
menurut Althof (1971) bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan individu
sampai pada berbagai macam tingkatan di dalam sistem politik. Sebaliknya, jika
mahasiswa apatis terhadap Pemilihan Raya tahun ini, maka penyelenggaraan
demokrasi di UIN Jakarta dianggap gagal dan hanya menjadi formalitas tahunan
yang tidak melahirkan pemimpin yang lahir dari partisipasi besar publik.
Demikianlah perpolitikan kampus yang setiap tahunnya berjalan
sangat dinamis. Maka meskipun di dalam kampus terdapat rutinitas tahunan yang
disebut dengan ‘Pemilihan Raya, jangan
sampai kultur politik lebih dominan dari pada kultur akademik. Karna jika hal
itu terjadi, maka kampus yang sejatinya merupakan lembaga pembentukan para
intelektual, menjadi lembaga perpolitikan berantakan.
0 comments:
Post a Comment